Dalam museum ini kita generasi muda, kembali kita diingatkan bahwa walau kita berbeda-beda tetapi satu jua dan segala perbedaan suku diikat oleh falsafat atau filosofi "Dalihan Na Tolu".
Berjalan ke arah depan, kita kembali disuguhkan dengan galeri perjuangan para pejuang-pejuang di kawasan Sumatera Utara pasca Kemerdekaan untuk mengusir agresi militer Belanda yang mencoba kembali merebut Indonesia dari Kemerdekaan.
Berjalan ke samping lewat pintu keluar, maka yang saya harapkan untuk saya lihat terwujud juga. Ya, apalagi kalau bukan galeri Perjuangan Sisingamangaraja XII.
Galeri ini menampilkan diorama dari perjuangan seorang Raja Batak yang telah disematkan sebagai Pahlawan Nasional, Raja Sisingamangaraja XII.
Dalam diorama itu saya dibawa suasana, sambil membaca, sambil mendokumentasikan dan sambil membayangkan bagaimana selama 30 tahun beliau berjuang, mengorbankan apa saja, termasuk keselamatan keluarganya untuk mengusir penjajah dari Tanah Batak.
Lengkap rasanya, sehingga saya bisa melihat dan membandingkan apa yang kurang dari tulisan sejarah saya tentang perjuangannya.
Semua panel-panel yang ditempelkan di dinding sangat jelas menggambarkan bagaimana Sisingamangaraja XII mulai dari mengumumkan Perang Pulas, mengirimkan surat agar Hindia-Belanda angkat kaki dari Tanah Batak, hingga bergerilya, sampai harus terdesak ke hutan Pea Raja, Dairi dan meninggal bersama dengan puteri tercintanya, Putri Lopian.
Walau belum puas karena waktu yang begitu mendesak, tidak mengurungkan niat saya untuk melangkah ke depan lagi melihat koleksi-koleksi buku perkembangan agama dan budaya.
Turun ke bawah, kita disuguhkan dengan arca dan patung peninggalan budaya Batak dan tidak ketinggalan, sebelum kembali ke Hotel Labersa tempat menginap, kami mengunjungi lantai satu dari Museum TB Silalahi yang menyimpan sejarah dan jejak langkah Oppung TB Silalahi, sejak dari kecil hingga bisa menjadi Ketua Dewan Pertimbangan Presiden Republik Indonesia.