Di usianya ke-35 setelah melewati berbagai cobaan dasyat dan lewat tapa dan meditasi tanpa makan dan minum serta kemauan yang keras dan keyakinan yang kukuh, akhirnya di bulan Waisak, tepat di waktu bulan purnama Siddhi, di bawah pohon Bodhi, Siddharta Gautama mencapai Pencerahan Sempurna Buddha tahun 588 SM.
Usia 80 tahun di Kusirana, India, Buddha Gautama mangkat tahun 543 SM setelah berkelana menyebarkan Dharma cinta dan kasih sayang yang menjadi ajaran hidup dan filosofi yang lama kelamaan berkembang menjadi agama Buddha.
Ketika saya membaca artikel Renungan Waisak ini, Trisuci Waisak, hampir sama juga dengan Tri Hari Suci yang beberapa minggu lalu selesai kami rayakan.
Dimana Kelahiran yang sudah kami rayakan di bulan Desember setiap tahunnya, lalu kisah bagaimana Yesus yang dicobai selama empat puluh hari, empat puluh malam tanpa makan dan minum yang lazim kami sebut dengan Bulan Puasa atau Berpantang.
Lalu ada Kisah Sengsara, dimana diawali dari kisah penghianatan oleh muridNya sendiri, yang diakhiri dengan Penyaliban di Bukit Golgota. Dan tiga hari kemudian bangkit untuk kembali ke Surga.
Kira-kira begitulah sedikit kesamaannya, walau sebetulnya begitu banyak perbedaan-perbedaan, namun Persaudaraan Sejati harus lebih diutamakan tanpa harus membuang ciri asal-usul, bahkan ciri budaya dan agama kita masing-masing.
Menjaga keutuhan dengan menjalin Persaudaraan Sejati bukanlah pekerjaan mudah, tetapi harus optimis dapat menjalin persaudaraan sejati dengan menjadi saudara sebangsa dan setanah air yang punya gaya hidup rukun dan damai, penuh toleransi dan punya sikap saling percaya, bukan saling mencurigai, apalagi menyakiti dengan persekusi dan tindak kekerasan atas nama agama.
Namun, kita masih melihat dan nyata adanya persekusi, sweeping dan pelarangan atas nama agama untuk melarang agama lain melaksanakan kegiatan, seperti yang terjadi di Batang Kuis, Deli Serdang Sumatera Utara beberapa waktu yang lalu.
Masih adanya tindakan-tindakan arogan atas nama agama seharusnya kita buang jauh-jauh di masa Ramadan seperti ini, apalagi ditengah-tengah upaya kita memerangi pandemi covid-19, sehingga apa yang menjadi tujuan kita bersama agar Bangsa Indonesia terbebas dari corona dan keadaan normal kembali, ekonomi menggeliat, kita bisa melaksanakan program belajar dan mengajar bisa berjalan kembali.
Saya teringat dengan wejangan dari Bapak Prof. Dr. Katimin, M.Ag disaat memberikan pendapatnya ketika Seminar Toleransi dan Keberagaman yang diadakan oleh Gereja Katolik St. Fransiskus Asisi Padang Bulan Medan, awal Maret lalu.
Dalam seminar bertemakan "Membangun Keluarga Sejahtera dalam Toleransi Hidup Beragama", beliau berkata bahwa "Agama sejatinya membawa Perdamaian".