Pada sebuah buku berisi perjuangan Sisingamangaraja XII berjudul "Perang Sisingamangaraja", ada satu bab bercerita tentang bagaimana seorang pendekar bernama Sarbut yang tinggal di Rura Silindung, Humbang Hasundutan ikut berperang dengan caranya sendiri. Pendekar Sarbut, begitulah dia dipanggil berjuang dengan caranya sendiri, dimana di malam hari dia membakar pos-pos penjagaan, bahkan suatu malam, dia membakar gudang mesiu penjajah.
Tiba-tiba tangsi militer di Tarutung milik Belanda terbakar. Gudang-gudang tempat persediaan makanan dan perlengkapan lainnya terbakar di telan api dasyat. Akibat perbuatan pendekar sarbut, namanya menjadi buah bibir. Masyarakat di Rura Silindung latah membicarakan aksi-aksi sarbut.
Disebutkan dalam buku tersebut, tentara Belanda pun seakan-akan latah menyebut nama sarbut. Penyakit latah telah berjangkit di Silindung, bahkan menular ke daerah Humbang. Disebutkan orang-orang Belanda ketularan penyakit latah yang menganggap sarbut menjadi momok menakutkan sehingga dianggap seperti 'begu' alias 'hantu' atau 'setan' di siang bolong.
Itulah sepenggal kisah cerita bagaimana kondisi dan situasi dalam masyarakat kita dalam menyikapi sebuah fenomena atau kejadian yang muncul. Begitu gampangnya masyarakat kita menjadi latah, bahkan sekarang berkembang menjadi kalap dengan situasi dan kondisi yang timbul di tengah-tengah kita, apalagi saat menghadapi gempuran pandemi covid-19 dan saat kita berpuasa di bulan puasa Ramadan ini.
Apa itu latah dan kalap? Mengapa ini sudah seperti budaya dan fenomena? Terutama dalam hal menimbun stok makanan ketika ada kejadian yang muncul di tengah-tengah kita?
Ya tidak dapat dipungkiri lagi bahwa latah sudah menjadi suatu kebiasaan, bahkan orang-orang latah sudah mendapatkan tempat di dunia hiburan yang dianggap dapat membuat kita terbahak-bahak, lucu dan menghibur suasana.
Ternyata, latah termasuk dalam salah satu gangguan psikologis yang disebut dengan Culture Bound Syndrome, dimana ciri-ciri orang latah adalah ketika penderita dikagetkan oleh suara atau gerakan, mereka secara spontan akan mengeluarkan respon, baik berupa kata-kata atau kalimat dan sering disertai gerakan tubuh.
Hal ini terjadi karena adanya kecemasan atau perasaan tertekan yang diakibatkan oleh kondisi atau situasi, bahkan oleh isu-isu meresahkan yang muncul ditengah-tengah masyarakat, seperti awal-awal munculnya pandemi corona virus awal bulan Maret lalu menjadi pembawa latah bahkan berakibat munculnya fenomena kalap untuk menimbun stok, tidak hanya makanan, tetapi juga masker dan bahan kebutuhan lainnya banyak-banyak di rumah tanpa memikirkan stok untuk orang lain.
Perilaku latah yang sudah terbentuk sedari penjajahan itu, kini muncul lagi dan nyata memang terjadi di negeri kita ini.
Sejak diumumkan oleh WHO bahwa pandemi covid-19 yang telah meluluh lantakkan Wuhan -- Cina, telah menjadi pandemi global dan tidak lama kemudian menyerang Indonesia, yang kemudian diumumkan oleh Presiden Jokowi setelah ditemukan dua warga negara Indonesia terinfeksi virus mematikan tersebut, kita diwajibkan untuk WFM alias Work From Home yang artinya semua pekerjaan dilakukan dari rumah, belajar dari rumah, hingga beribadah di rumah saja.
Otomatis terjadi kepanikan dan muncul sikap latah di tengah-tengah masyarakat kita, apalagi covid-19 ini dibumbui dengan berita-beritah hoaks alias belum tentu kebenarannya tetapi sangat berpotensi meresahkan kita.
Ada yang mengatakan bahwa kita akan lockdown alias kita berdiam diri di rumah, tidak boleh meninggalkan tempat tinggal kita sama sekali dalam kurun waktu yang tidak bisa dipastikan, sehingga pengertian ini menimbulkan kepanikan, kelatahan, hingga fenomena kalap untuk menimbun makanan sebagai stok di rumah.
Banyak yang panic buying, alias masyarakat dari kalangan menengah ke atas tiba-tiba membanjiri pasar, super market, mini market, hingga tempat-tempat belanja untuk membeli makanan, bahan bakar, dan bahan kebutuhan hidup lainnya sebanyak mungkin karena mereka khawatir akan sesuatu yang buruk yang mungkin terjadi.
Fenomena kalap, jika kita artikan dari Kamus Besar Bahaa Indonesia, adalah lupa diri karena marah, atau bisa juga bingung akibat situasi dan kondisi ditimbulkan, sehingga bisa bertindak di luar nalar dan logika, termasuk dalam panic buying unutk menimbun makanan di luar yang sewajarnya.
Fenomena kalap ini terjadi karena sudah dikendalikan oleh emosi saat melihat pembeli pertama telah membeli bahan makanan di luar yang sewajarnya, sehingga terpengaruh, begitu dengan pembeli ketiga dan seterusnya, sehingga muncul fenomena kalap untuk mengantisipasi rasa cemas terkait ketersediaan bahan makanan, karena takut terinfeksi wabah virus corona.
Padahal, jika kita langsung disuguhi oleh informasi-informasi yang benar seputar pandemi corona virus ini, serta protokol-protokol atau prosedur-prosedur kesehatan yang harus kita ikuti dan taati, maka fenomena kalap dan budaya latah menimbun bahan makanan ini tidak perlu kita lakukan.
Kenapa? Karena fenomena menimbun makanan ini sangat banyak akibat yang ditimbulkan, diantaranya:
Pertama, pastinya harga-harga bahan makanan maupun stok lainnya pasti naik. Hal ini pasti terjadi, walau ada sebahagian kecil yang tidak mau menaikkan harga, seperti yang ditunjukkan oleh ibu Susanna Indrayani yang menolak warga memborong sembako di tokonya yang viral dan tidak menaikkan harganya, kecuali jika memang dari pabriknya naik.
Ketegasan ibu Susanna yang tidak mau menjual barang dagangannya kecuali kepada pedagang-pedagang kecil dan tidak menaikkan harga merupakan satu bukti bahwa kita seharusnya tidak perlu kalap dan latah dalam menghadapi pandemi ini dan juga saat berpuasa, karena Pemerintah dengan tegas mengatakan bahwa stok kebutuhan pangan dan bahan makanan pokok dijamin aman sampai enam bulan ke depan.
Kedua, meningkatnya inflasi, dimana akibat pembelian yang berlebihan pasti akan berpengaruh kelangkaan beberapa produk kebutuhan rumah tangga di pasaran. Akibat kelangkaan? Pastinya harga juga naik mengakibatkan terganggunya stabilitas ekonomi nasional.
Sementara selain diakibatkan oleh covid-19, kita sebentar lagi akan merayakan Idul Fitri, dimana biasanya kenaikan inflasi terjadi lebih awal dan akan lebih lama.
Ketiga, tentunya disamping mengganggu keuangan rumah tangga karena uang kita fokuskan untuk membeli bahan makanan pokok dalam jumlah yang besar karena kalap? Tentunya juga akan menjadi sebuah pemborosan, dimana kita harus menghabiskan stok makanan sebelum habis masa kaladuarsanya.
Sementara, jujur di luar sana banyak keluarga yang tidak makan, harus mengutang untuk membeli bahan makanan sehari-hari karena terdampak covid-19. Seperti dialami oleh keluarga di Serang yang hanya minum air galon.
Nah, bagi kaum masyarakat yang sudah terlanjur melakukan fenomena kalap belanja makanan, juga untuk kita semua, dalam upaya bergotong royong bersama-sama memberangus covid-19, agar tidak terjadi seperti yang dialami oleh keluarga di Serang yang tidak punya makanan.
Sudah saatnya kita melakukan Gerakan Menengok Tetangga, mari kita sisihkan satu dua porsi makanan yang kita makan hari ini untuk kita bagikan kepada tetangga kita yang kekurangan makanan.
Kita ajak tetangga kita yang memang punya stok makanan lebih untuk menyisihkannya bagi tetangga kita yang kekurangan. Sehingga makanan yang kita timbun itu tidak mubazir dan tidak ditelan oleh kaladuarsa.
Mari perlahan tapi pasti, kita kikis sikap latah dan fenomena kalap belanja makanan, mari sekarang kita peduli dengan sesama kita yang kekurangan dengan membagikan makanan yang kita punya. Dengan begitu, kita menunjukkan rasa kepedulian kita di masa-masa sulit akibat pandemi covid-19.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H