Pertama sekali saya menginjakkan kaki di sekolah bernama Seminari Menengah Pematang Siantar sekitar dua puluh empat tahun yang lalu, setelah saya mendaftar ulang, saya menaiki tangga ke lantai dua sembari menenteng kopor besar tempat pakaian dan perlengkapan yang akan saya gunakan selama di asrama, kalimat yang saya jumpai ketika menginjakkan kaki di ruang tidur tersebut
Kejujuran Tidak Akan Pernah Hilang dari Rumah ini!
Pampangan kalimat tersebut hingga kini membekas dan sangat susah untuk tidak berkata jujur, namun walau kerap bertentangan dalam batin, tetaplah berkata jujur walau pahit rasanya.
Ya, situasi sulit memang terkadang memaksa kita untuk tidak berkata jujur! Tidak dapat dipungkiri kebohongan sering dianggap sebagai suatu pembenaran demi menyelamatkan diri dari situasi sulit. Perang batin disadari atau tidak sering sekali lebih memilih menciptakan suatu kebohongan demi menyelamatkan diri dari tudingan buruk, daripada berkata jujur.
Padahal dengan menciptakan satu kebohongan saja, maka akan selamanya kita berbohong terus untuk menutupi kebohongan yang pertama dan kebohongan itu akan menggelinding terus, membesar seperti bola salju yang turun dari ketinggian gunung es yang siap menghempaskan nilai-nilai kejujuran dan membuncah menciptakan suatu prahara. Itu kenyataan, bukan isapan jempol belaka.
Mau bukti? Mari kita lihat kasus oppung -- nenek -- bernama Ratna Sarumpaet! Oh ia, kenapa saya panggil oppung? Ada beberapa alasan:
Pertama, karena dia sudah berumur 70 tahun dengan empat orang anak, cucu tidak tau pasti, karena tidak terlalu mau tau.
Kedua, karena dia keturunan batak asli, lahir di Tarutung dengan ajaran agama Kristen yang lebih menekankan sifat-sifat kejujuran dan ajaran saling mengasihi, sehingga untuk orangtua yang sudah berumur maka mendapat panggilan kehormatan 'oppung' -- orang yang sudah dituakan.
Ketiga, melihat karya-karya beliau dan sederet penghargaan, belum lagi sepak terjang beliau lewat seni teater dan drama dalam memperjuangkan hak-hak asasi manusia (HAM), perlawanan terhadap penindasan wanita, dan kebebasan berpendapat dan berkumpul di era orba serta awal era reformasi dengan ikut serta dalam beberapa aksi demostrasi, membuat kita salut dan pantas mendapat gelar oppung.
Tetapi perlahan tapi pasti semua rasa simpati dan kagum akan perjuangan oppung ini berubah menjadi antipati dan lama-lama merasa enek dengan segala perkataan dan tingkah laku oppung satu ini.
Mungkin ini berlebihan, tetapi melihat sepak terjangnya belakangan itu, wajar kalau kita tidak simpatik lagi dengan oppung satu ini.