Setelah sukses memperoleh harta Nyai Dasima, maka Saimun menceraikan, mencampakkan Nyai Dasima, bahkan membayar seorang jagoan untuk melenyapkan nyawa Nyai Dasima dan mayatnya dilempar ke sungai Ciliwung. Cerita diatas adalah gambaran dari banyak hal yang kita jumpai sebagai pemicu tindakan KDRT didalam rumah tangga di negara kita ini. Banyak modus yang kita jumpai dan alami sebagai penyebab kekerasan terhadap perempuan dan anak-anaknya. Keinginan untuk hidup lebih baik ternyata tidak segampang membalikkan telapak tangan dan kesemuanya itu terjadi karena timbulnya rasa egoisme yang berlebihan dan tidak mau menerima keadaan rumah tangga, belum lagi godaan yang ditawarkan mengakibatkan nahkoda rumah tangga retak, bahkan hancur berantakan dan berakhir dalam perceraian atau cerita tragis menghilangkan nyawa.
Penulis banyak melihat hal dan kejadian yang terjadi sebagai akibat dari ketidakmampuan membina rumah tangga yang baik sehingga berujung pada tindakan KDRT maupun perceraian yang meninggalkan bekas yang mendalam dan menyedot korban yang bernama : ANAK-ANAK baik itu lewat media televisi, elektronik, surat kabar maupun di lingkungan masyarakat, bahkan di lingkungan keluarga sendiri.
Tidak dapat dipungkiri, korban dari KDRT adalah anak-anak yang seharusnya memiliki masa depan cerah, mendapatkan pendidikan dan cita-cita yang urung digapai oleh akibat dari rumah tangga mereka yang broken home, alias berantakan.
Pengalaman sebagai pendidik membawa saya pada kesadaran akan pentingnya membina keluarga itu dari pribadi istri dan suami, bukan orang lain. Selama enam tahun sebagai pendidik di salah satu sekolah negeri, sudah tak terhitung jari-jari lagi melihat ada peserta didik saya yang menderita akibat broken home, dimana kasusnya beragam, tapi kebanyakan ditinggal pergi oleh suami dan lebih memilih hidup dengan wanita lain. Si suami tega pergi meninggalkan isteri dan anak-anaknya yang sangat membutuhkan asupan kasih sayang maupun pemenuhan kebutuhan jasmani dan rohani.
Anak Selalu Jadi Korban KDRT
Pernah si anak harus putus sekolah karena si ibu tidak sanggup memenuhi kewajibannya di sekolah, seperti: uang komite atau uang sekolah yang dibebankan, uang insidental, uang buku, LKS, baju dan berbagai kutipan lainnya. Si anak tidak pernah menceritakan latarbelakangnya yang sudah ditinggal pergi ayahnya dengan wanita lain. Sementara ibu sanggupnya bekerja sebagai tukang cuci ataupun pembantu di rumah-rumah orang kaya di sekitar tempat tinggalnya. Si anak sering ketahuan tertidur saat pelajaran berlangsung, ternyata setelah saya selidiki dengan baik, dia bercerita bahwa dia harus bekerja di doorsmeerdekat rumahnya ataupun membantu-bantu di salah satu rumah makan mie aceh yang buka dari jam 7 malam sampai dengan jam 12 malam demi meringankan beban ibu dan adeknya-adeknya, kebetulan dia adalah anak sulung dari tiga bersaudara.
Ini adalah contoh kecil dari ribuan kasus yang dialami oleh generasi bangsa kita yang mengidam-idamkan negara menjamin hak dan kewajiban setiap warga negara Indonesia seperti yang tercantum dalam Pancasila dan UUD 1945. Tetapi kenyataannya? Sungguh ironis melihat kenyataan yang terpajang di negara kita, seperti baru-baru ini, istri melempar suaminya dengan piring dan memukulnya. Suami kalap dan bersama dengan orang bayarannya berkomplotan membunuh isterinya. Suami tega membunuh isteri dan anak-anaknya, dan berbagai macam kasus seharusnya cukup menjadi pelajaran bagi kita untuk tidak menambah daftar hitam akibat KDRT.
Sebab Komisi Nasional Perempuan mencatat sebanyak 321.752 kasus kekerasan terhadap perempuan terjadi sepanjang 2015, berarti sekitar 881 kasus setiap hari dan angka ini meningkat 9% dari tahun sebelumnya. Sementara itu KPAI mencatat terdapat 1.698 pengaduan kekerasan terhadap anak pada tahun 2015, dengan 53% di antaranya adalah kasus kekerasan seksual. Sisanya, yakni sebanyak 40,7% adalah penelantaran, penganiayaan, eksploitasi untuk seksual dan bentuk kekerasan lainnya.
Bahkan koran lokal hari ini membeberkan fakta terbaru di tahun 2016, akibat suami tidak sanggup memberikan nafkah dan tidak bertanggungjawab terhadap rumah tangga yang dibinanya, sebanyak 2.003 isteri melakukan gugat cerai terhadap suaminya. Fenomena ini meningkat dari tahun ke tahun, di tahun 2014 angka perceraian di kota Medan mencapai 2.025 kasus, tahun 2015 meningkat menjadi 2.372 kasus, tahun 2016 meningkat menjadi 2.527 kasus yang diputus pengadilan Agama Medan. “Dari semua kasus perceraian ini sekitar 60% adalah gugatan dari pihak isteri”, jelas Panitera Pengadilan Agama, Jumri.
Progam Three Ends Sukses Apabila Semua Pihak Sadar Diri
“Setiap hari ada saja gugatan cerai yang masuk ke Pengadilan Agama Medan. Setiap hari juga ada saja yang disidangkan”, ujar Jumri lebih lanjut menjawab fenomena cerai yang berlangsung di kota terbesar ketiga di Indonesia setelah Jakarta dan Surabaya ini.