“Berkurban adalah memberikan hal yang paling baik”, begitulah tulisan status teman FB saya pagi ini, tepatnya Hari Raya Idul Adha bagi seluruh umat Muslim di seluruh dunia. Berkurban tentunya beda artinya dengan hanya memberi, sebab memberi bisa saja bukan dari hati yang tulus dan pemberiannya juga bisa biasa-biasa aja, tetapi kalau sudah bicara Kurban, maka pemberian itu harus dari hati yang paling tulus dan besar, niat yang suci nan ikhlas, dan apa yang diberikan itu harus yang spesial atau istimewa dan bermanfaat bagi orang banyak. Begitulah makna yang bisa saya ungkapkan di hari Idul Adha ini, hari yang sakral bagi Umat Muslim yang ada di seluruh nusantara.
Namun, pagi ini saya dikejutkan dengan sebuah pemberitaan salah satu media yang bunyinya seperti ini: “Dua sapi kurban dari Ahok ditolak pengurus Masjid luar batang” yang mengindikasikan bahwa warga di sekitar Masjid menolak pemberian ikhlas Ahok sebagai bukti pendekatan diri atau hewan sembelihan pemberian Ahok sebagai bukti pendekatan diri Ahok kepada warganya ditolak oleh pengurus Mesjid Luar Batang. Dua ekor sapi yang gemuk-gemuk Kurban Gubernur DKI, Basuki Tjahaja Purnama, alias Ahok ditolak mentah-mentah karena rasa egoisme yang berlebihan. Menurut pengakuan pengurus DKM Masjid Keramat Luar Batang, Mansur Amin mengatakan bahwa alasan penolakan ini untuk menjaga harga diri warga dan umat Muslim yang menjadi korban penggusuran oleh Ahok selaku Gubernur DKI Jakarta.
"Sebagaimana kita ketahui bersama, ada syarat atau ketentuan mengenai kurban, dan selama ini Ahok banyak menyakiti, menzalimi umat atau rakyat, baik berupa kebijakan serta ucapannya," kata pria yang akrab disapa Daeng Mansur ini. Maka, lanjutnya, demi harga diri umat Islam dan warga sekitar Luar Batang, pihaknya menolak sumbangan sapi tersebut. Dan, hewan kurban tersebut sudah dibawa kembali oleh pengantarnya. Wah, sayang banget tuh hewan qurban dikembalikan ke pemiliknya, padahal di tempat lain sangat membutuhkan hewan-hewan qurban.
Nah bagaimana ini? Ketika qurban ditolak oleh warga yang merasa tersakiti dan tidak terima dengan kebijakan Pemprovsu yang melakukan penggusuran demi merevitalisasi kawasan Kampung Aquarium serta pasar Ikan, Luar Batang menjadi pusat wisata bahari serta membereskan ‘sheet pile’ atau dinding turap dikawasan sungai Ciliwung yang mengalir melalui Kali Besar (Big Canal). Namun, jangan dilupakan juga bahwa di daerah Luar Batang terdapat beberapa tempat-tempat bersejarah, karena dari jaman VOC Kampung Batang Luar merupakan tembok kota bagian Utara dari Batavia, sehingga ribuan kapal datang dari Eropa dan Asia setiap harinya ke Batavia untuk melakukan transaksi jual-beli rempah-rempah, kain, sutra, keramik dan barang-barang lainnya di abad 16 – 19.
Belum lagi keberadaan Masjid yang ditempati oleh sebuah makam keramat salah satu khatib keturunan Arab yang menetap lama di Kampung Luar Batang yakni Sayid Husein bin Abubakar bin Abdilah Al-Aydrus (1758) yang sampai sekarang masih ramai dikunjungi oleh para peziarah yang menjadikan Kampung Luar sebagai salah satu destinasi wisata religius karena keberadaan Masjid maupun tembok-tembok VOC yang masih berdiri dengan kokoh.
Jadi, adalah tugas besar Pemprovsu terutama Gubernur DKI yang memang doyannya bukan cari aman atau berada di zona aman dengan nyaman duduk sebagai penguasa yang santai, tetapi adalah Gubernur yang doyan kerja menata Jakarta lebih bagus dan baik tanpa banjir dengan menegakkan Peraturan Daerah agar zona yang seharusnya zona kawasan penghijauan dikembalikan kepada fungsinya dengan baik. Tetapi seharusnya juga Pemprovsu dalam menggusur itu dengan punya hati nurani, warga yang akan di pindahkan benar-benar diberi kemudahan di rusun-rusun yang dibangun, bukannya digusur tetapi hak warga tidak diberi, hak warga untuk mendapatkan tempat tinggal yang nyaman dan aman tetap ada, bukan diabaikan dengan dalih bahwa kawasan yang digusur itu memang benar-benar milik Pemerintah. Tetapi ada solusi yang lebih baik sehingga warga tetap senang menerima qurban sang Gubernur.
Kalau sudah begini gimana? Untung warga Batang Luar tidak terima qurban, bukan mengatasnamakan SARA, tetapi murni karena merasa tersakiti oleh penggusuran Pemprovsu DKI, walau sebenarnya tidak ada hubungan antara qurban dan penggusuran, tetapi ini murni karena masalah keikhlasan tidak menerima pemberian sang pemberi yang mugkin juga tidak ikhlas. Namun, sepertinya kita harus kembali melihat sejarah Hari Raya Qurban ini, dimana dalam ajaran Islam maupun Kristiani, qurban ini didasarkan atas permintaan Tuhan, dimana dia menginginkan Abraham sebagai Bapak Seluruh Bangsa (Nabi Ibrahim) mempersembahkan anaknya Ismail (Ishak dalam Kristiani) di atas sebuah Mezbah di sebuah Gurun. Sebenarnya Tuhan hanya ingin mencobai sampai dimana kesetiaan Abraham (Nabi Ibrahim) kepada Tuhan-nya kala itu.
Benar, Abraham (Nabi Ibrahim) sangat setia kepada Tuhan, terbukti dia tidak ragu untuk mempersembahkan anaknya yang tunggal walau dia punya 1000 kambing, 300 sapi, dan 100 unta untuk dipersembahkan, tetapi permintaan Tuhan dia kabulkan walau harus kehilangan harta satu-satunya yang dia miliki. Sehingga, Tuhan pun sangat berbelas-kasih atas persembahan Nabi Ibrahim sehingga dia memberikan berkat yang berlimpah-limpah.
Nah, bagaimana dengan qurbannya pak Ahok yang ditolak? Mungkin ini pertama kalinya qurban seorang Pejabat ditolak oleh warganya, tetapi semoga ini bukan berarti pengorbanan pak Ahok demi Jakarta yang lebih baik tetap terwujud, semoga kasus warga Batang Luar dapat dituntaskan dengan baik, dan semoga qurbannya dan pengorbanannya diterima seluruh warga Jakarta dengan baik. Semoga !
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H