Mohon tunggu...
Caesar Naibaho
Caesar Naibaho Mohon Tunggu... Guru - Membaca adalah kegemaran dan Menuliskan kembali dengan gaya bahasa sendiri. Keharusan

Pengajar yang masih perlu Belajar...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Konsep Pendidikan Rumah Sebagai Gerakan Semesta Menuju Indonesia Mandiri Berlandaskan Pancasila

23 Mei 2016   19:17 Diperbarui: 24 Mei 2016   10:48 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Stella Van Pettern Henderson, seorang ahli filsafat pendidikan pernah berkata, “The new born babe is not really a human being; he is a candidate for humanity”yang artinya lebih kurang seperti ini, “bayi yang baru lahir tidak benar-benar manusia; dia adalah calon kemanusiaan” menggambarkan betapa panjangnya fase yang harus dialami oleh seorang anak setelah lahir ke dunia ini. Siapakah yang paling bertanggung jawab akan hidup si anak? Adalah orang tua yang melahirkan anak dan orang disekitarnya. Lantas dimanakah seorang anak memperoleh kasih sayang, pemenuhan kebutuhan yang sifatnya primer, sekunder, dan tersier, juga pendidikan untuk anak sebagai orang yang bertanggung jawab dan orang pertama yang dikenal anak? Tentu saja jawabannya, Rumah.

Rumah, menurut defenisi dari Wikipedia, menerangkan bahwa suatu bangunan yang dijadikan tempat tinggal selama jangka waktu tertentu bagi manusia, defenisi rumah secara umum. Bagi hewan, maka sangkar, sarang, atau kandang adalah sebutan yang paling tepat bagi rumah mereka. Secara khusus, rumah mengacu pada konsep-konsep sosial-kemasyarakatan yang terjalin di dalam bangunan tempat tinggal, seperti keluarga, hidup, makan, tidur, beraktivitas, dan lain-lain. 

Yang dapat saya sederhanakan, rumah adalah tempat berkumpulnya keluarga yang saling menyayangi, mencintai, orang tua meneruskan keturunannya, mengajarkan kebudayaan yang baik secara turun-temurun, memberikan pendidikan kepada anak, tentunya disamping pemenuhan kebutuhan fisiknya. Rumah adalah tempat terjadinya interaksi antara semua penghuni rumah.    

Jika rumah adalah tempat mendidik anak, maka tepatlah kata Van Pettern Henderson, bahwa “pendidikan yaitu suatu kombinasi pertumbuhan dan perkembangan insani dengan warisan sosial”,yaitu rumah sebagai tempat bertumbuh dan berkembangnya insan-insan sebagai penerus keluarga. Pernyataan Van Pettern ini dikuatkan oleh pernyataan seorang Immanuel Kant, “Man can become man through Education only”,yang artinya“Manusia benar-benar menjadi seorang manusia hanyalah dengan Pendidikan” dalam teori pendidikannya.

Namun, apa yang kita lihat sekarang ini? Maraknya aksi-aksi kriminal yang dilakukan oleh anak-anak di bawah umur, seperti pembegalan, yang paling sadis, adalah pemerkosaan yang disertai dengan pembunuhan, dimana pelakunya lagi-lagi masih anak-anak, sebanyak 14 orang tega memperkosa dan membunuh seorang anak perempuan umur 14 tahun yang masih duduk di bangku SMP secara bergilir, belum lagi maraknya aksi bulying dikalangan pelajar menggambarkan inilah potret gagalnya pendidikan karakter yang seharusnya dimulai dari keluarga di rumah. Kejadian-kejadian seperti ini akan terus berlanjut jika kita tidak memperhatikan pendidikan anak yang dimulai dari kelurga. 

Melemahnya peran orangtua sebagai pendidik di dalam rumah, karena kesibukan, memberikan sepenuhnya tanggung jawab pendidikan kepada pihak sekolah, ketidak harmonisan antara ayah dan ibu, tidak adanya kontrol orang tua di rumah, kurangnya ketegasan orang tua kepada anak, tidak menerapkan disiplin kepada anak sejak dini dan bergesernya paradigma bahwa anak tidak perlu lagi disuruh untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan kecil di dalam rumah, seperti; menyapu rumah, menyuci piring, belajar minimal satu jam satu hari, disiplin untuk tepat waktu dirumah, menghargai serta menghormati yang lebih tua menjadi alasan mengapa pendidikan karater dalam kelurga gagal total, yang menjadikan anak tidak punya karakter baik, tetapi lebih memiliki karakter gampang menyerah, lebih condong memiliki sifat manja, tidak punya pendirian, gampang diajak teman berbuat hal-hal yang negatif (ikut-ikutan) berbuat kejahatan, bersifat menunggu dan kurang inisiatif, dan yang paling jelas terlihat ketika dalam proses belajar, mayoritas siswa sekarang bergantung pada perangkat teknologi informasi dan komunikasi sehingga malas belajar karena merasa sudah lebih pintar dengan perangkat teknologi yang mereka punya.

Peran rumah sebagai etalase (tempat) pertama anak untuk tumbuh-berkembang dengan baik, terlebih tempat anak dididik seharusnya memiliki peranan penting dalam proses pendidikan anak. Sebab pendidikan adalah humanisasi, yaitu upaya untuk memanusiakan manusia atau upaya membantu manusia agar mampu mewujudkan diri sesuai dengan martabat kemanusiaannya. Rumah yang baik akan menjadikan manusia seperti apa yang dia tiru dari penghuni rumah lainnya yang mendidik mereka, apakah seperti orangtua, anggota keluarga lainnya, atau seperti sosok pengasuh yang memberikan pendidikan yang baik di dalam rumah.

Sehingga tidak tercipta lagi seperti kisah yang dikemukakan oleh M.I Soelaeman (1988) yang dikenal dengan peristiwa manusia serigala:

Seorang pemburu menemukan di tengah-tengah hutan belantara dua orang anak sekitar enam dan tujuh tahun, ketika anak itu melihat pemburu, mereka lari .... di atas kaki dan tangannya sambil mengeluarkan suara seperti meraung-raung. Mereka masuk gua, mencari perlindungan pada seekor .... serigala. Tapi akhirnya kedua anak itu berhasil ditangkap dan kemudian di bawa ke kota dan dijadikan bahan studi para ahli. Setelah melalui kesukaran, kedua anak itu dapat dididik kembali seperti biasa”.

Dari peristiwa di atas kita dapat memahami bahwa kemampuan berjalan tegak di atas dua kaki, kemampuan berbicara dan kemampuan berperilaku lainnya yang lazim dilakukan manusia yang berkebudayaan, tidak di bawa manusia sejak kelahirannya. Demikian halnya dengan kesadaran akan tujuan hidupnya, kemampuan untuk hidup sesuai individualitas, sosialitasnya, tidak di bawa manusia sejak kelahirannya, melainkan harus diperoleh manusia melalui belajar, melalui bantuan berupa pengajaran, bimbingan, latihan, dan kegiatan lainnya yang dapat dirangkumkan dengan istilah pendidikan dalam keluarga. Rumah sebagai kunci berhasil tidaknya pendidikan dalam keluarga.

Ki Hajar Dewantara, bapak pelopor dunia pendidikan kita tau betul akan fungsi rumah dan keluarga sebagai dasar pendidikan bagi anak, oleh karena itu beliau membuat konsep pendidikannya yang bernama Tri Pusat Pendidikan dimana pendidikan dapat berlangsung di dalam berbagai lingkungan, yaitu di dalam lingkungan pendidikan informal (keluarga), di dalam lingkungan pendidikan formal (sekolah), dan di dalam lingkungan pendidikan non formal (masyarakat). Rumah sebagai tempat pendidikan formal harus memiliki kriteria yang baik sebagai etalase pendidikan dasar bagi anak, yaitu :

Pertama, hubungan yang harmonis antara orangtua, antara seluruh penghuni rumah, dan mampu memberikan kasih sayang yang tulus kepada anak. Jika kondisi di dalam rumah kondusif, dimana ayah sebagai pemimpin dalam keluarga menjalankan fungsinya dengan baik, ibu sebagai pendamping suami, karena diciptakan dari tulang rusuk sang suami, sehingga posisinya tidak lebih tinggi dari suami, juga tidak lebih rendah, tetapi berfungsi sebagai orang yang dipercaya untuk mengurusi rumah tangga, menjadi ibu bagi anak-anak, mewujudkan kesejahteraan keluarga dengan cerdas, hemat, dan bijaksana dalam mengatur keuangan keluarga, mampu menjaga nama baik keluarga, sehingga sukses tidaknya rumah tangga dan keluarga ada di tangan sang ibu. Begitu juga dengan anggota keluarga yang lain, jika mampu saling bersinergi untuk menciptakan keluarga yang harmonis, maka suatu keniscayaan jika keluarga itu baik dan anak-anaknya akan sukses.

Kedua, rumah yang sehat pastilah menghasilkan generasi yang sehat juga. Di era kekinian, kebanyakan orangtua lebih memperhatikan fisik dari rumah saja, mayoritas orangtua lebih suka bangunan rumah yang tinggi menjulang alias bertingkat, luas, dan dikelilingi tembok tinggi, sementara aspek lingkungan sekitar tidak diperhatikan, seperti terciptanya lingkungan sekitar yang asri, hijau, saluran air yang baik, hingga memelihara normalisasi suhu udara dengan meminimalisir penggunaan Air Conditioner(pendingin ruangan) yang berdampak pada makin meluasnya efek global warming (pemanasan global) yang sedang mengancam bumi kita. Padahal, dengan rumah yang sederhana, layak huni, dipastikan akan mampu memenuhi kebutuhan fisik sehari-hari penghuni rumahnya, seperti : tempat beristirahat setelah lelah seharian beraktifitas, tidur, belajar, membaca, bercengkrama antar anggota keluarga, memasak, dan lain sebagainya. Rumah yang sederhana juga mampu memenuhi kebutuhan rohani keluarga para penghuni rumahnya, seperti : melindungi keluarga dari serangan penyakit, pengaruh cuaca yang tidak menentu, angin, tempat keluarga untuk berdoa, beribadah, berinteraksi dengan baik, tempat orangtua mencurahkan kasih sayangnya, dan membentengi keluarga dari pengaruh-pengaruh buruk lingkungan sekitar rumah.

Ketiga, menjadikan rumah sebagai tempat yang nyaman tempat anak untuk tumbuh dan berkembang. Rumah yang nyaman dengan ventilasi yang memadai untuk mengatur sirkulasi udara sehingga penghuni rumah dapat bernafas dengan baik. Mengeluarkan gas karbondioksida (CO2) dan menghirup gas oksigen (O2). Rumah yang tenang, nyaman, dan segar akan memudahkan penghuni rumah untuk betah tinggal di dalam rumah. Begitu juga dengan pencahayaan rumah yang baik, terang, yang berasal dari kaca rumah akan berfungsi untu membunuh kuman, bakteri dan mampu memberikan semangat bagi anggota keluarga. Yang paling penting, di dalam rumah tersedia sarana penunjang aktivitas keluarga, semisal : sarana air bersih, mandi, cuci, dan kakus (MCK), tempat pembuangan sampah dan air limbah keluarga, dapur, gudang, dan lain sebagainya. Yang paling penting, di dalam rumah harus tersedia ruang belajar untuk anak, sehingga anak mampu belajar dengan baik dirumah dan memberikan prestasi yang membanggakan disekolah. Suasana nyaman, tenang, tentram, jauh dari hiruk-pikuk pastilah mendukung dalam proses panjang pendidikan anak.

Sebagai penutup dari tulisan ini, adalah bahwa pendidikan keluarga di dalam rumah peranannnya sangat vital dalam mewujudkan revolusi mental dan nawacita yang didengung-dengungkan oleh pemerintahan Jokowi-JK. Peranan keluarga dalam mendidik anak adalah kunci suksesnya pendidikan karakter sebagai dasar pembentukan pribadi anak Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia, dan tanggap akan tuntutan perubahan zaman. 

Rumah dan fungsinya sebagai etalase pendidikan keluarga, seharusnya mampu menjadi benteng dari derasnya arus globalisasi yang ditandai dengan masuknya pengaruh negatif dari teknologi informasi dan komunikasi. Pendidikan di dalam keluarga, di dalam rumah seharusnya mampu memberikan pemahaman akan manfaat jika menguasai teknologi informasi dan komunikasi, yaitu bisa menjadi kreatif, inovatif, dan juga kreatif. Jadi, sudah saatnya kita mulai mewujudkan revolusi mental dan nawacita dari pendidikan karakter kepada anak yang dimulai dari keluarga dan rumah. Semoga !   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun