MENYELESAIKAN MASALAH TANPA SOLUSI?
Oleh Agus Suryana
“KITA akan menyelesaikan masalah tanpa solusi..”
Penggalan kalimat yang cukup menggelitik tersebut disampaikan begitu ringan, lurus, dan tanpa beban oleh Deny Chandra sebagai host dalam salah satu program televisi swasta bertajuk Indonesia Lawak Klub (ILK). Ya sebagaimana namanya, acara tersebut sepertinya dimaksudkan untuk memparodikan sekaligus menyindir para politisi, lawyer, praktisi, dan para pengamat yang sering berkumpul, berdiskusi, berdebat, dan mewacanakan suatu gagasan atas permasalahan-permasalahan yang dihadapi negeri ini menurut disiplin ilmu dan bidang keahlian masing-masing. Tetapi hal yang menjadikan masyarakat bersikap skeptis adalah apa yang menjadi diskursus ternyata jauh panggang dari api tidak sampai mengantarkan pada penyelesaian masalah. Apa yang didiskusikan sepertinya “menguap” begitu saja untuk selanjutnya berganti dengan pembahasan permasalahan baru. Acara ILK bisa jadi muncul dari akumulasi kebingungan—kalau tidak mau dibilang kemuakkan—masyarakat terhadap permasalahan yang dihadapi bangsa ini yang tak kunjung tuntas.
Harus diakui dengan jujur, setiap hari permasalahan bangsa Indonesia terus mengalir tanpa henti, dari mulai korupsi ribuan pejabat negara (data Kemendagri: 1500-an pejabat), kriminalitas yang kian marak (data Reskrim Polri’12: setiap 91 detik, terjadi satu kejahatan), pergaulan bebas yang ironisnya disokong negara dengan program Pekan Kondom Nasional-nya, krisis ekonomi yang kian parah (kurs dollar tembus Rp12.380 per jumat, 03/01/14), kemiskinan yang terus bertambah (data BPS, Sept’13 mencapai 28,55 juta orang atau 11,47%), dan masih banyak lagi persoalan-persoalan yang lainnya.
Satu permasalahan belum usai dan mencapai titik terang sudah muncul permasalahan lainnya yang pada akhirnya menggantung tanpa solusi untuk kemudian berganti dengan permasalahan-permasalahan berikutnya yang juga nihil penyelesaian. Pada akhirnya kita hanya “hobi” mendiskusikan masalah atau seperti menyelesaikan masalah tapi tidak ada solusi konkret.
Di sisi lain para pakar, intelektual, para praktisi sering berkumpul dalam dialog, debat, diskusi-diskusi, seminar, dan forum-forum yang lainnya, untuk membahas dan memecahkan persoalan-persoalan tadi, tapi alih-alih muncul solusi yang terjadi malah menambah masalah, atau masalah digantung begitu saja sambil menunggu masalah lain yang barangkali akan menjadi tema diskusi yang seru untuk menambah permasalahan. Begitulah seolah negeri ini kebingungan dengan permasalahan yang dibuatnya sendiri.
Negara Menyelesaikan Masalah dengan Masalah
Sejatinya peran negara adalah melindungi, menjamin kebutuhan, serta menciptakan kesejahteraanbagi rakyatnya. Tapi apa daya yang terjadi justru penguasa negeri ini begitu “rajin”nya membuat masalah untuk rakyatnya sendiri, tengok saja tahun 2013 kemarin sesaat sebelum tiba bulan Ramadhan pemerintah “menghadiahi” rakyat dengan kenaikkan harga BBM yang sudah terbukti meningkatkan kemiskinan dan ”mencekik” rakyat, pengesahan UU Ormas yang berpotensi membungkam kebebasan berpendapat, kemudian di akhir tahun pemerintah melalui Menkes malah menyebarkan "monster” pergaulan bebas kepada masyarakat khususnya remaja dengan pemberlakuan PKN (Pekan Kondom Nasional).
Belum genap seminggu kita menjalani tahun 2014 sudah ada tiga kedzoliman berturut-turut diberikan penguasa pada rakyatnya yakni teror Densus 88 yang membunuhi enam orang yang baru diduga teroris, pemberlakuan SJSN yang notabene merupakan praktik untuk mengalihkan tanggung jawab negara kepada rakyatnya sendiri dengan melakukan “pemalakan” terhadap rakyat berkedok jaminan sosial, sampai pada kenaikan harga elpiji 12 kg yang nyaris menembus angka 100%.
Dari masalah-masalah tersebut memang ada upaya untuk menyelesaikannya, tapi dengan masalah lagi. Sebagai contoh ketika pemerintah mengeluarkan kebijakan menaikkan harga BBM maka sebagai upaya tambal sulamnya dibuatlah subsisdi melalui program BLSM (Bantuan Langsung Sementara Masyarakat) yang pada implementasinya telah menimbulkan banyak sekali permasalahan mulai dari mekanisme pemberian BLSM yang selalu berujung maut (karena berdesak-desakan), salah sasaran, sampai pada bantuan yang sifatnya sementara justru hanya sebagai pelipur lara masyarakat yang sedang merintih kesakitan untuk selanjutnya mereka akan kembali hidup dengan himpitan ekonomi yang kian menjadi.
Menyelesaikan Masalah dengan Solusi Terbaik
Bagaimana mungkin bisa menyelesaikan masalah tanpa solusi? Adalah fitrah setiap manusia untuk bisa keluar dari berbagai persoalan yang membelitnya, mencari solusi atas permasalahan tersebut seraya mengupayakan jalan terbaik yang mesti dilakukan, karenanya manusia akan selalu berikhtiar mencari jalan keluar dari masalah yang dihadapinya. Sesungguhnya siapapun yang menyimak, akumulasi permasalahan negeri ini terletak pada tidak diterapkannya syariat Islam dalam seluruh aspek kehidupan, hal ini tersurat dalam firman Allah Swt.
tygsßß$|¡xÿø9$#ÎûÎhy9ø9$#Ìóst7ø9$#ur$yJÎ/ôMt6|¡x.Ï÷r&Ĩ$¨Z9$#Nßgs)ÉãÏ9uÙ÷èt/Ï%©!$#(#qè=ÏHxåöNßg¯=yès9tbqãèÅ_ötÇÍÊÈ
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke
jalan yang benar)”. (TQS Ar Rum: 41)
Imam Ali Ashobuni dalam kitab tafsirnya Shofwatut Tafaasir memaknai maksud dari kalimat “bimaa kasabat ayydinnaas” (disebabkan karena perbuatan tangan manusia) sebagai “bisababi ma’asinnaas wa dzunubihim ” (disebabkan karena maksiat dan dosa-dosa yang dilakukan manusia).
Jadi jelaslah bahwa akar persoalan yang mendatangkan kerusakan semua lini kehidupan negeri ini disebabkan karena maksiyat dan dosa manusia. Maksiyat adalah segala perbuatan dan perkataan manusia yang melanggar syariat Islam atau aturan-aturan Allah Swt dan Rasul-Nya. Setiap perbuatan maksiyat adalah dosa dan setiap dosa pasti akan menimbulkan fasad (kerusakan).
Pertayaannya seberapa besar fasad yang akan ditimbulkan oleh kemaksiatan yang dilakukan manusia tsb? Jawabannya tergantung pada level kemaksiyatan yang dilakukan manusia itu, jika kemaksiyatan dilakukan pada level individu, maka fasad yang ditimbulkan akan berdampak pada individu tsb, jika kemaksiyatan dilakukan di level kelompok/masyarakat maka kerusakan pun akan menyebar di tengah-tengah mereka, nah yang jadi kengerian kita saat ini adalah kemaksiyatan negeri ini dilakukan hampir di semua level dari individu, masyarakat, termasuk negaranya pun berperilaku maksiyat kepada Allah, yakni dengan tidak menerapkan hukum-hukum Allah dalam seluruh aspek kehidupan, hingga akhirnya kita saksikan bersama kemaksiyatan yang membabibuta ini juga telah mengundang kerusakan yang membabibuta yang datang dari daratan dan lautan, seperti gempa bumi, banjir, gunung meletus, tsunami, longsor, datangnya berbagai penyakit, dll, Naudzubillah.
Apapun masalahnya sesungguhnya tidak ada jalan lain kecuali kembali kepada muara tempat solusi itu berada yakni arruju’ ilal Islam (kembali kepada Islam), kembali pada upaya penerapan aturan-aturan yang diturunkan sang pencipta kita, Allah Swt. Wallahu’alam.[]
Penulis, Penggiat Perubahan Islamic Ideology , Penulis Buku ” A Big Change”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H