Lebaran adalah peristiwa istimewa. Saat semua orang berhenti sejenak untuk meluangkan waktu. Menyempatkan diri untuk saling kunjung. Bersilaturohmi; menanyakan kabar, dan juga saling bermaafan satu dengan yang lain.
Ada banyak kesan romantisme saat Lebaran. Untuk itu, mudik seolah menjadi wajib. Mudik adalah tindakan yang dilakukan turun temurun. Menjadi kurang nyaman atau mengarah ke rasa bersalah jika tidak dilakukan. Menjadi adat bagi sebagian besar masyarakat Indonesia.
Maka fenomena mudik saat Lebaran tidak bisa diwakili dengan menatap layar HP; guna menanyakan kabar kerabat dan meminta maaf. Mudik lebih dari dari itu; untuk eksistensi dan juga silaturohmi secara langsung.
Lebaran adalah waktu yang tepat untuk ngobrol. Bercerita. Menanyakan kabar satu dengan yang lain. Antartetangga jauh maupun dekat. Â Bagi yang mudik menanyakan kabar kerabat atau teman. Sekaligus menyempatkan bertandang ke rumah saudara.Â
Nah, biar obrolan saat Lebaran menjadi sesuatu yang menarik maka ada beberapa hal yang harus dipahami:
Jangan Menceritakan Kesuksesan
Bagi yang merantau dan sukses. Kesuksesan itu melenakan. Saat pulang kampung, seolah saatnya berjalan dengan kepala tegak. Besar kepala. Mungkin saja ada hasrat menceritakan kesuksesan. Itu pasti. Agar semua orang tahu.
Jika hasrat itu muncul, buanglah. Enyahkan! Itu tidak menarik bagi lawan bicara. Hanya menarik bagi diri Anda sendiri. Memberi asupan pada ego sendiri. Seolah kita yang paling penting; yang lain tidak.
Jika Anda menceritakan diri sendiri. Lawan bicara akan mengambil peran pasif. Hanya pendengar. Apalagi orang desa. Mereka hanya diam, sambil mengangguk-angguk. Meskipun itu sangat menjengkelkan. Mereka tahu cara menghormati lawan bicara. Memberi panggung sepenuhnya ke Anda. Namun, mereka menilai dalam hati. Bahwa Anda sombong.
Saat ngobrol yang paling penting jangan satu arah. Jika pembicaraan selama lima menit hanya dari Anda, segera berhenti cari tema lain. Intinya komunikasi harus dua arah. Itu dinamakan obrolan hidup. Saling mengisi.