"Jika manusia tiba-tiba menghilang [punah], bumi akan kembali ke kesetimbangan semarak yang ada 10.000 tahun lalu. Namun, jika serangga menghilang, lingkungan hidup akan mengalami kekacauan"
    -----
Kata-kata terkenal di atas diucapkan oleh Edward O.Wilson--Bapak Sosiobiologi, profesor entomologi, spesialis semut dari Universitas Harvard. Bukunya yang berjudul  On Human Nature dan the Ants, memenangkan pulitzer. Dan menjadi buku yang berpengaruh, menggugat  hubungan toxic manusia dan alam.
Manusia dengan peradaban industrinya menimbulkan masalah besar bagi makhluk hidup lain. Pencemaran--air, laut dan udara--deforestrasi hutan, serta pemborosan energi; menjadi faktor pendorong kepunahan bagi banyak spesies. Manusia seolah memperlakukan entitas di luar spesiesnya dengan mengabaikan nilai moralitas.
Di ekosistem bumi, keberadaan manusia seperti parasit. Lebih banyak menimbulkan malapetaka daripada sukacita. Predator puncak yang menghabiskan sumberdaya serta mengonsumsi menu lintas spesies: Ikan, amphibia, serangga, mamalia, reptil, unggas, berbagai jenis tumbuhan, dan juga cendawan.Â
Tidak hanya itu, batu bara, minyak bumi, gas alam, besi, dan semua yang bisa dimanfaatkan, dilahap. Tidak ada spesies yang begitu "paripurna" memangsa semua spesies lainnya seperti manusia.
Tantangan saat ini adalah bagaimana menyeimbangkan antara kepentingan pembangunan, dampak pembangunan dan pelestarian lingkungan hidup secara luas.
 Menjaga Alam Vs Pertumbuhan Ekonomi
Deforestrasi hutan, pemanfaatan energi fosil--untuk industri dan bahan bakar kendaraan--menjadi pemicu adanya efek rumah kaca (green house effect). Pembakaran energi fosil akan melepas karbon dioksida dan zat pencemar lainnya ke angkasa. Zat pencemar, akan menutupi lapisan troposfer, sehingga menghalangi pantulan cahaya matahari yang harusnya lepas ke luar angkasa.Â
Akibatnya suhu bumi meningkat. Es di kutub mencair. Limpahan air menuju laut. Terjadilah peningkatan volume air laut yang dampaknya akan menenggelamkan ribuan pulau.
Bertambahnya volume air laut juga berakibat pada penurunan suhu udara di permukaan air laut. Aliran udara sebagai mesin iklim akan berubah. Siklus musim akan kacau. Terjadi gangguan masa tanam, merebaknya serangan hama. Gagal panen mengikuti.
Petani dan nelayan menjadi komunitas yang paling terdampak. Masyarakat pesisir bisa kehilangan tempat tinggal akibat banjir rob permanen.
Untuk itulah, pada 2015 di Paris, Conference of the Parties (COP) 21 dalam United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) menyepakati  bahwa negara di dunia harus mengurangi emisi karbon (Net Zero Emissions), agar bisa mempertahankan suhu di bawah 2C, di atas suhu udara sebelum era industrialisasi. Kesepakatan tersebut dikenal dengan Paris Agreement (Kesepakatan Paris).
Kesepakatan Paris, menimbulkan banyak konsekuensi. Bagi negara maju maupun berkembang. Salah satunya adalah, mengurangi asupan karbon pada mesin pabrik dan juga pembangkit listrik. Batubara sebagai sumber energi favorit tapi kotor, harus segera ditinggalkan untuk beralih ke energi yang lebih ramah lingkungan.
Dampak bagi Indonesia sudah terasa. Uni Eropa menghentikan impor produk sawit dari Indonesia dengan alasan deforestrasi hutan. Padahal bagi Indonesia produk sawit adalah komoditas unggulan yang menyumbang 2,5% PDB.
Indonesia melalui National Determinet Contribution (NDC) berkomitmen, mengurangi emisi karbonnya 29% dengan usaha sendiri dan 41% dari dukungan pihak eksternal hingga akhir 2030.Â
Ini artinya PLTU dengan asupan batu bara harus segera diganti dengan menu energi baru yang ramah lingkungan. Padahal Batubara, adalah sumber energi melimpah dan juga komoditas ekspor menjanjikan.
Akan terjadi penurunan produksi yang akan melambatkan pertumbuhan ekonomi. Efek lanjutannya adalah pengurangan lapangan kerja, meningkatnya pengangguran, bahkan krisis energi. Ujungnya akan memperlambat pertumbuhan ekonomi nasional
Tidak banyak pemimpin negara yang berani mengambil resiko, dengan mengorbankan pertumbuhan ekonominya. Ongkos politiknya besar. Yang dilakukan adalah berjalan berdampingan. Produksi batu bara akan terus berjalan namun, sisi lainnya, menggalakkan penanaman mangrove, reboisasi hutan gundul serta menggunakan biofuel sebagai alternatif bahan bakar. Bauran energi dijalankan. Biofuel bersanding dengan energi fosil. Pengembangan energi baru dan terbarukan: Energi surya, angin dan juga air.
Transformasi peralihan dari energi fosil ke energi hijau membutuhkan waktu, kesiapan masyarakat, dan juga niat baik pemerintah dalam wujud kebijakan.
Contohnya saja Inggris. Harga gas di Inggris melonjak tajam sejak September 2021. Kalau dihitung sejak Januari, kenaikannya mencapai 250%. Salah satu sebabnya adalah aturan pasar karbon, di Uni Eropa (UE). Pembatasan penggunaan energi kotor untuk industri. Dengan langkanya energi gas, akhirnya mau tidak mau menggunakan kembali batubara.
Upaya Pengurangan Emisi
Harus ada aksi nyata untuk berubah. Karena hakekatnya semua manusia yang hidup pada era industrialisasi adalah agen pencemar: produsen sampah (cair,padat,gas) berkesinambungan.Walau kadarnya berbeda beda.Â
Misal perjalanan kita sejauh 1 km dengan mobil, akan membuang 200 gram CO2. Penggunaan lampu berdaya 10 watt, yang dinyalakan satu jam menghasilkan 9,51 gram emisi karbon. Pemakaian 1 lembar kertas cetak, setara cemaran karbon 226,8 gram.Â
Belum lagi saat kita menyetrika, menghidupkan pompa air, menyalakan laptop, memasak makanan dan juga saat mencuci baju. Di bawah ini beberapa upaya di tingkat individu yang bisa kita terapkan untuk membendung dan mendukung Net Zero Emissions, sebagai langkah menghambat perubahan iklim:
1. Beralih ke Energi Terbarukan
Energi terbarukan semisal energi surya, angin dan air bisa dimaksimalkan. Teknologi panel surya sekarang tidak semahal dulu. Energi surya semakin ekonomis dan kompetitif untuk digunakan dalam skala luas.Â
Kita bisa beralih dari energi listrik batu bara untuk diganti dengan energi terbarukan. Beli panel surya, satu atau dua sebagai awal mengakrabkan dengan energi terbarukan.Â
Pasang di rumah untuk digunakan sebagai sumber energi penerangan. Setelah akrab dengan teknologi surya kita tingkatkan skala penggunaannya. Misal, mengganti atap rumah dengan panel surya. Kita seperti memanen energi gratis tiap hari. Selain ramah lingkungan juga sangat murah.
2. Gaya hidup sederhana
Merasa cukup dan tidak berlebihan saat memenuhi kebutuhan hidup akan menghindarkan pada konsumsi berlebih terhadap energi. Makan secukupnya, dan seperlunya.Â
Setiap makanan yang ada di piring membutuhkan energi. Sebagai gambaran, jika berasnya impor maka membutuhkan transportasi kapal laut, kendaraan darat, sampai kendaraan pribadi kita saat membelinya. Untuk daging, sayuran, prosesnya juga sama.
3. Menanam pohon keras. Â Pohon bisa mereduksi CO2 di angkasa. Dengan menanam pohon hakekatnya kita membuat pabrik alami pemurni udara. Satu hektar hutan hujan tropis mampu menyerap emisi karbon setara 174 ton/tahun.Â
Menurut penelitian 1 pohon mangga yang kita tanam mampu mereduksi 455 CO2 kg/tahun. Semakin banyak tanaman yang kita tanam, semakin berdampak positif terhadap mengurangan emisi.
4. Memakai Baju yang Tepat. Budaya memakai jas, membutuhkan ruangan sejuk (ber-AC) untuk kenyamanan. Untuk lingkungan tropis yang hangat dan panas, memakai setelan jas untuk bekerja, sebenarnya kurang tepat.Â
Pemakaian jas hanya terlihat lebih keren, namun tidak ramah lingkungan. Sebisa mungkin budaya memakai jas bisa diganti dengan batik. Batik bisa berfungsi sebagai baju formal, selain itu lebih ramah lingkungan.
5. Intensifikasi Ruang. Kalau ada lahan yang kosong kita bisa menanami dengan sayur mayur, buah-buhan atau juga sumber karbohidrat: ubi, ketela pohon, gembili atau lainnya. Tanaman tersebut tidak membutuhkan perawatan khusus, sehingga siapapun bisa melakukannya.Â
Kebutuhan pupuk menggunakan pengomposan dari limbah domestik. Sisa makanan organik dan non-organik kita pisahkan. Organik kita tampung di wadah khusus, kita olah menjadi  pupuk kompos. Bahan non-organik semisal plastik, beling, besi kita pilah-pilah, bisa dijual ke pengepul barang bekas. Berdikari dalam pangan bisa turut mendukung upaya pengurangan emisi karbon.
6. Hemat energi. Gunakan cahaya matahari saat siang hari untuk menerangi dalam rumah. Hal ini bisa dilakukan dengan menata cahaya matahari sebisa mungkin menjangkau semua ruangan. Semisal mengganti genteng dengan material bening.
7. Menjadi Pembeli Cerdas. Beli produk yang punya sertifikat ramah lingkungan. Semisal saat membeli minyak goreng, kita pastikan penanaman sawit dan mengolahannya sudah mendapat sertifikat ramah lingkungan.Â
Selain itu hindari membeli barang impor. Rantai transportasi yang panjang meninggalkan cemaran karbon. Selain berdampak positif, yakni meningkatkan produksi dalam negeri.
8. Menampung air hujan. Kita bisa membuat wadah penampungan air hujan. Contohnya, kita buat tampungan air hujan dengan ukuran panjang 2 meter, lebar 2 meter dan kedalaman 3 meter. Ukuran bisa menyesuaikan dengan ruang yang tersedia.Â
Dengan contoh ukuran tersebut, saat hujan kita punya tabungan air sebanyak 12.000 liter. Sebuah angka yang lumayan besar, bisa digunakan untuk berbagai kepentingan. Misal untuk menyirami tanaman, mencuci kendaraan atau lainnya.
Manusia Harus Berubah
Menjadi manusia bergaya hidup ramah lingkungan awalnya merepotkan. Mungkin juga terlihat aneh bagi orang lain. Kita membungkus sampah kita dan membawa pulang, kita hanya memakai pakaian yang bisa dihitung dengan jari, atau kita menolak menggunakan pestisida untuk membunuh serangga.Â
Namun, manusia harus meyakinkan pada diri sendiri, hakekatnya kita di Bumi ini hanya numpang tinggal. Sebagai mana sikap orang yang numpang maka kita harus menjaga agar tempat yang kita tinggali tetap bersih dan nyaman.
Jadikan  gaya hidup selaras alam menjadi kebiasaan. Planet Bumi sedang sakit. Butuh langkah nyata, tindakan terukur yang berdampak pada pengurangan atau pelambatan kehancuran.Â
Kita harus menyadari bahwa kita ini hakekatnya adalah parasit bagi Bumi, dan predator bagi spesies lainnya. Semua makhluk hidup takut dengan keberadaan manusia. Kita telah mengusir harimau, gajah, orang hutan untuk pindah dari rumahnya; dengan membabat hutan dan menggantinya dengan sawit.
Manusia telah memusnahkan banyak serangga dengan pestisida yang digunakan untuk melindungi tanaman pangan. Manusia telah mengeruk bahan bakar fosil untuk dibakar guna menopang kebutuhan energi yang semakin rakus dan tanpa ada kejelasan kapan berakhirnya.
Sampai kapan kita akan selalu berfikir bahwa apa yang kita lakukan itu biasa-biasa saja. Apa yang kita lakukan adalah sebuah tindakan genosida bagi spesies lainnya. Bahkan, bagi keselamatan manusia sendiri. Kalau upaya pencegahan--Net-Zero Emissions--gagal, naiknya suhu tidak bisa dibendung, dan melebihi 2C, maka malapetaka iklim akan semakin ganas. Sudah waktunya untuk berubah. Stop bencana iklim, mulai sekarang, dan kita awali dari kita!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H