Mohon tunggu...
Agus Subali
Agus Subali Mohon Tunggu... Guru - Penikmat keheningan.

Belajar Untuk Kebaikan.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Serpihan Cerita dari Undangan "Sound of Borobudur" (1)

1 Juli 2021   17:47 Diperbarui: 11 Oktober 2022   13:37 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Anak-anak malah tertawa. Saya tidak, saya mencoba serius bahwa apa yang saya paparkan adalah fakta dan nyata adanya.

" Dan wilayah yang kamu huni saat ini yang bernama Indonesia sudah membangun peradaban maju dengan meninggalkan bangunan berarsitektur mengagumkan, BOROBUDUR! Saat penduduk Australia membuat mahakarya bivak (gubuk dari dedaunan) nenek moyangmu ini sudah mampu menghitung dengan ketepatan mengagumkan. Membangun bangunan dari batu andesit, dengan presisi mencengangkan. Terciptalah candi megah di Magelang yang keindahannya bahkan membuat kagum Gubernur Jenderal Inggris, Raffles, pendiri Singapura. Dan Raffles menangis (sesenggukan) ketika harus meninggalkan Jawa, saat dimutasi ke Singapura"

Biasanya anak-anak melongo dan terdiam. Sebagian mungkin paham sebagian mungkin abstrak memahami apa yang aku bicarakan. Dan aku bisa menebak, sedikit dari mereka berada pada zona abstrak. Terlihat dari mukanya yang datar tanpa ekspresi terkejut atau kagum. Wajah yang menunjukkan ekspresi B aja. Spesies millenial tidak gampang kagum karena mereka juga punya akses yang sama terhadap informasi apa pun. Kadang saya berfikir jangan-jangan mereka memahami Raffles seperti mereka memahami Tukul Arwana!

Hari Rabu, tanggal 9 Juni 2021 informasi pemenang itu diumumkan. Berangkat atau tidak selalu menjadi dua sisi yang harus saya pertimbangkan  dengan matang. Jika tidak ikut saya kehilangan moment. Jika ikut kondisi pagebluk semakin menghawatirkan. Istriku yang menguatkan agar aku berangkat. Akhirnya dengan bulat kuputuskan, saya berangkat.

Sejak tanggal 11 Juni ketika hati saya memutuskan berangkat, konsumsi TV saya nolkan. Saya tidak mau nonton TV yang menyajikan berita pagebluk. Kuhindari semua jenis informasi yang mampu membuat pikiranku goyah. Yang kulakukan hanya fokus mepelajari Borobudur. Sebuah upaya untuk meneguhkan hati membulatkan tekad. 

Selain itu, dalam pikiran, akan bertemu dengan 9 orang hebat yang punya minat yang sama. Maka saya print sepuluh karya tersebut--termasuk milikku--saya baca berulang-ulang untuk semakin menguatkan "Saya Harus ke Borobudur". Satu demi satu sebelum tidur saya membaca karya 10 orang tersebut.

Hari pertama kubaca karya Teh Nurul Mutiara, Blogger cerdas asal Pekalongan. Aku mengulas karyanya, menandai dengan stabilo, membuat coretan kecil. Sembilan puluh menit lebih ku habiskan untuk menikmati karyanya. Hari kedua Karya Mbak Vicky Laurentina, blogger energik asal Surabaya. Tulisannya mengulik tentang apa yang didapat bangsa ini terkait mahakarya Borobudur.

Hari ketiga karya Mbak Ratih Fitroh, blogger dan guru sejarah cerdas energik. Artikelnya tayang di AU, dirinya membahas kemegahan Borobudur dengan perspektif mendalam sebagai pengagum sejarah.  Hari keempat Pak Ang Tek Khun, beliau adalah pakar Storytelling. Beliau mengulas Sound of Borobudur harus dikemas dalam bingkai storynomic agar berdampak kuat bagi pariwisata Indonesia. 

Hari kelima, karya Mas Hendra Wardana, ulasannya tentang pementasan musik masa lalu yang kemungkinan besar tak jauh beda dengan saat ini. Hari keenam Ibu Tety Polmasari, tulisannya membahas kekagumannya tentang relief alat musik dan lebih kagum lagi relief musik tersebut bisa diwujudkan dan didengarkan oleh para musisi tanah air. 

Hari ketujuh membaca karya Mas Detha Arya, beliau dengan apiknya mengalirkan kemegahan Borobudur dari ujaran orang-orang terkemuka yang terpesona melihat Borobudur, sebut saja Naturalis Inggis, Russel Wallace. Hari kedelapan karya Pak Djulianto Susantio, saya lahap. Beliau Arkeolog independen yang tulisannya selalu bermuatan hal baru dan menarik. Beliau dengan detailnya, menggunakan mata elang arkeolog membiak-biak selaput tersembunyi relief dengan tutur renyah. 

Hari kesembilan karya Mbak Riana Dewie, saya lahap karya blogger jogja yang smart ini. Tulisannya mengulas kekagumannya dengan fakta bahwa Borobudur adalah pusat musik dunia.  Hari kesepuluh aku membaca karya Mas Indra Mahardika. Tulisan yang keren dan yang mengulas Borobudur sebagai media diplomasi antar negara. Sampai tanggal 20 Juni saya final membaca karya sepuluh orang dengan konsentrasi maksimal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun