Strategi Tiongkok, menggunakan penyelesaian bilateral--mengajak berunding negara per negara. Sambil memainkan keunggulan ekonomi, dan imimg-iming investasi besar. Tidak terkecuali  strategi tersebut diterapkan untuk Indonesia. Menurut catatan BKPM, sepanjang tahun 2020 Investasi Tiongkok adalah yang terbesar setelah Singapura. Nilainya mencapai 8,3 milyar USD. Bagi Indonesia pun sama, Tiongkok adalah negara mitra dagang utama. Menurut data BPS, ekspor Indonesi sepanjang Maret 2021 mencapai 18,35 milyar USD. Kapitalisasi terbesar ke Tiongkok.
Indonesia dan Tiongkok punya kepentingan strategisnya masing-masing. Dalam masalah LTS, Tiongkok akan terus memanasi Indonesia dalam skala konflik moderat. Namun, terkelola dengan baik. Tiongkok tidak akan secara serius mengajak Indonesia konflik terbuka. Ongkos ekonominya terlalu besar dan melelahkan. Indonesia adalah pasar dan sekutu potensial bagi Tiongkok. Maka kemungkinan skenarionya adalah: Politik Diskon Barang. Harga barang dibanderol dengan harga di atas normal, lalu diberi diskon besar. Namun, harga diskon tersebut masih menguntungkan secara ekonomis. Pembeli psikologisnya merasa diuntungkan, dan pedagang untung beneran.
Tiongkok melibatkan Indonesia ke dalam masalah LTS adalah kesengajaan. Namun sebenarnya tidak berambisi menguasai. Indonesia hanya dibuat berang dan gusar. Tiongkok akan bereaksi sewajarnya. Terus begitu sampai Indonesia benar-benar mendidih. Dan pada saatnya Indonesia mau diajak berunding. Pada akhirnya, Tiongkok akan menghapus garis imajinernya di Natuna. Tiongkok seolah bermurah hati dan Indonesia merasa menang diplomasi politiknya.
Dengan dicoretnya Nine Dash Line dari wilayah Natuna, Tiongkok mendesak agar Indonesia membayar dengan politik diam. Artinya Indonesia tidak perlu reaktif atau over acting dengan klaim Tiongkok atas wilayah ASEAN lainnya. Bagi Tiongkok ini akan melegakan, salah satu rival besar di ASEAN sudah takluk. Pada Akhirnya, negara ASEAN lainnya akan bertarung sendiri-sendiri dan kemungkinan tidak akan menang.
Tiongkok akan konsisten berupaya menyelesaikan lewat jalur bilateral dengan pancingan ekonomi; Investasi. Myanmar, Kambodja, Thailand, Timor Leste (belum jadi anggota ASEAN) dan Laos, sudah dibungkam dengan jeratan investasi, agar diam setidaknya abstain kalau ASEAN membicarakan masalah LTS.
Jika salah penanganan LTS bisa menjadi pemicu perang besar. Manifesto Dasa Sila Bandung harusnya bukan hanya romantisme sejarah namun bisa untuk pedoman bersopan santun antar negara.
Mungkin Tiongkok sudah lupa, apa yang dulu pernah digagas, yakni  menjaga persatuan dan bukan mencari perselisihan, sebagaimana Perdana Menteri Zhou Enlai ucapkan pada saat di Bandung 66 tahun silam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H