Kita di takdirkan untuk selalu hidup berdampingan dengan manusia lainnya dalam kehidupan sosial. Sebagai mahluk sosial kita saling membutuhkan satu dengan yang lainnya, dasarnya adalah semua saling membutuhkan dalam konteks kebutuhan itulah kita hidup bersama. Apabila kita rujuk teori kebutuhan Abraham Maslow yang ke 4 yaitu tentang kebutuhan Esteem Need ( kebutuhan harga diri, penghargaan) merupakan salah satu kebutuhan yang sering kita lihat dalam keseharian. Pada tingkatan ini dalam kehidupan sosialnya manusia menilai dirinya sendiri dan dinilai oleh orang lain hal tersebut terkait dalam aspek harga diri dan penghargaan dari yang lainnya.
Hal terkait dengan harga diri atau penghargaan adalah gelar. Hasan (2002) menegaskan bahwa gelar merupakan sebuah panggilan kehormatan, kebangsawanan atau kesarjanaan yang biasanya ditambahkan kepada nama seseorang. Realitas dilapangan kita sering melihat orang-orang yang menggunakan gelar atas namanya bermacam-macam gelar atas dasar kehormatan, bangsawan. akademis, dimanapun kita dapat melihatnya. Dalam suatu pertemuan sering disebut seseorang yang akan tampil untuk memberikan sambutan dipanggil namanya dan gelarnya, ada juga di hajat pesta pernikahan penyebutan nama yang dipanggil beserta gelar kerap terdengar oleh kita, dalam sebuah kartu nama terpampang nama dan gelarnya, ada juga yang mencantumkan gelar dalam kontestasi pemilu, pilkada. Dalam dunia pendidikan gelar disematkan ketika seseorang telah menyelesaikan proses kegiatan akademiknya setelah lulus dianugerahi gelar sebagai salah satu upaya pencapaiannnya selama mengikuti proses akademik pendidikan.
Kebanyakan gelar-gelar yang digunakan bernuansa gelar-gelar akademik. Sebutlah diantara untuk srata 1 ( sarjana) SH, S.Ikom, Spd, SM, untuk srata 2 nya ( Magister) MH, M.IKom, MT, MSi, untuk strata 3 ( Doktor ) Dr. Sah-sah saja tidak larangan sedikitpun setiap orang untuk memakainya. Dikampus jelas karena komunitas akademik dan sebagai pembuktian pada setiap levelnya terlihat terutama untuk para dosennya minimal S2 juga sebagai jenjang kepangkatan akademiknya dari lektor sampai guru besar (profesor). Dikantor gelar adalah sebagai golongan pangkat kepegawaian.
Namun apabila kita maknai secara mendasar ketika kita berada ditengah-tengah masyarakat umum dalam suatu kegiatan atau suatu kegiatan khusus lainnya apa iya gelar-gelar yang sudah kita dapatkan tetap kita sematkan dengan nama kita? Sehingga ketika suatu waktu kita dipanggil apakah menerima suatu penghargaan, memimpin pertemuan rapat, memberikan sambutan ada nama kita dan gelar kita. Padahal apabila kita telaah lebih lanjut dalam konteks masyarakat umum, belum tentu masyarakat paham tentang gelar-gelar tersebut. Masyarakat tidak membutuhkan itu tetapi masyarakat membutuhkan karya nyata kita , kontribusi kita, partisipasi kita, kepribadian dan attitude kita. Ada seorang dosen ketika dikampusnya disematkan gelar-gelarnya ketika berkegiatan akademik, namun ketika berada di lingkungan masyarakatnya, atribut-atribut gelarnya ditanggalkan dia lebih nyaman dipanggil namanya saja, walaupun masyarakat mengakui profesinya sebagai dosen.
Itulah realitas fakta dalam kehidupan kita, ketika kita memaknai sebuah gelar..
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI