KADO POLITIK AWAL TAHUN 2025
Oleh: Agus Sjafari*
Memasuki awal Tahun 2025 ini, publik dihentakkan dengan dua berita politik yang sangat penting: Pertama, Keputusan MK tentang penghapusan ambang batas presidential threshold ditetapkan pada tanggal 2 Januari 2025 yang lalu, melalui Sidang Pengucapan Putusan Perkara Nomor 62/PUU-XXII/2024. Dalam putusan ini, MK menyatakan bahwa Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum; dan Pemberitaan yang Kedua adalah penobatan nama Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) dalam daftar finalis pemimpin terkorup di dunia 2024 Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP), yang dirilis pada Kamis, 2/1/2025, dalam situs OCCRP.ORG.
Berita yang pertama tentunya direspon oleh sebagian kalangan diibaratkan sebagai "oase politik" di tengah "keringnya demokrasi" selama perhelatan pemilu khususnya pada perhelatan demokrasi pada Tahun 2024 yang lalu. Sedangkan berita yang kedua merupakan berita yang sangat tidak menggembirakan kita semua, dikarenakan pemberitaan tersebut sangat mencoreng citra pemerintahan kita dalam kurun waktu 10 tahun terakhir di era pemerintahan Jokowi.
Namun, kedua berita tersebut memberikan pelajaran politik yang mendalam dan sangat berarti bagi publik, yaitu bahwa kita masih belum menemukan model demokrasi yang ideal selama ini. Masih banyak cacat demokrasi yang dilahirkan oleh sistem perpolitikan selama ini. Bisa jadi lahirnya pemberitaan yang kedua tersebut merupakan produk sistem demokrasi yang masih belum matang tersebut. Kesimpulan mendalam lainnya bahwa selama kita menjalankan pemerintahan mulai dari orde lama, orde baru, dan orde reformasi yang kita bangga -- banggakan ini ternyata memiliki kemiripan situasi demokrasi dengan wajah yang berbeda yaitu sama -- sama melahirkan pemimpin yang korup. Meskipun rezim Jokowi tidak dijatuhkan seperti halnya dua rezim sebelumnya, namun masuknya nama Jokowi sebagai pemimpin terkorup di dunia versi OCCRP mencerminkan bahwa praktek berdemokrasi kita masih buruk.
Apa Implikasinya?
Kedua pemberitaan politik di atas tentunya memiliki implikasi yang sangat serius terhadap kehidupan bernegara kita ke depan. Implikasinya tidak saja pada aspek politik semata, melainkan berimplikasi terhadap aspek hukum, aspek ekonomi, aspek sosial, dan beberapa aspek lainnya.
Apa implikasi dengan adanya keputusan MK terkait penghapusan ambang batas presidential threshold menjadi 0 % tersebut?. Dengan adanya keputusan MK tersebut tentunya memiliki implikasi politik dan hukum serius yang harus dipersiapkan sampai dengan pelaksanaan pemilu tahun 2029 yang akan datang.
Keputusan MK tersebut tentunya memberikan beberapa implikasi politik, antara lain:
Pertama, Adanya peningkatan kesempatan bagi partai kecil. Dengan dihapuskannya ambang batas 20%, partai-partai kecil memiliki kesempatan yang sama untuk mencalonkan presiden dan wakil presiden. Dalam konteks ini MK ingin menegaskan bahwa semua partai politik apakah partai politik yang besar memiliki eksistensi yang sama yaitu sebagai institusi tempat kaderisasi calon pemimpin, memerankan fungsi agregasi politik, penampung aspirasi rakyat, serta fungsi -- fungsi lainnya. Penggunaan ambang batas 20% dalam pemilu -- pemilu sebelumnya tersebut dianggap sudah tidak relevan lagi, apalagi pemilu pada tahun 2029 yang akan datang dilakukan secara serentak, dengan demikian ambang batas 20 % sudah tidak relevan dan tidak obyektif lagi.
Kedua, Peningkatan jumlah calon presiden. Penghapusan ambang batas ini berpotensi menimbulkan banyak calon presiden, sehingga memperkaya proses demokrasi. Calon presiden pada dasarnya tidak didominasi oleh partai politik besar atau kecil, yang penting keberadaan dari partai politik itu tercatat sah sebagai peserta pemilu. Rakyat akan disuguhi oleh banyaknya pilihan calon pemimpin bangsa. Kita semua tahu bahwa pemilu presiden atau pilkada sekalipun merupakan pertarungan calon dan bukan pertarungan partai yang mengusung. Partai politik dalam hal ini dibaratkan sebagai pihak yang menyediakan tiket bagi pasangan calon presiden dan wakil presiden. Dengan demikian calon terbaiklah yang akan muncul sebagai pemenang meskipun hanya didukung oleh satu atau sebagian kecil partai politik pengusungnya.