Idealnya bahwa politik itu bukan sesuatu yang "mewah" melainkan politik itu penuh "pengorbanan". Para founding father kita sudah mempraktekkan substansi dari politik itu sendiri. Mereka hidup sangat sederhana dan juga banyak berkorban serta "berdarah darah" dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsanya dari ketertindasan negara lain. Makna politik berubah seratus delapan puluh derajat sejak era orde baru berkuasa dengan sangat lama dan penuh dengan fasilitas yang sangat mewah yang didapatkan dengan model pemerintahan yang koruptif.
Ketika seorang aktivis politik memandang bahwa kekuasaan itu adalah sesuatu yang mewah dan tidak memandang bahwa kekuasaan itu sebagai amanah, maka mereka akan menerapkan kekuasaan dengan cara -- cara koruptif. Sedangkan apabila politik didudukkan sebagai sebuah amanah, maka ia akan menerapkan kekuasaan politiknya dengan penuh etika dan moral yang menuntunnya.
Politik juga pada dasarnya adalah sebuah cara dan bukan tujuan. Ketika politik didudukan sebagai sebuah cara, maka Ketika kekuasaan sudah diperoleh maka ia tidak berhenti di situ saja, melainkan terus memainkan dan memperjuangkan kekuasaan tersebut untuk tujuan yang suci dan mulia yaitu kesejahteraan dan keadilan untuk semua rakyat Indonesia. Dan sebaliknya, ketika politik didudukkan sebagai tujuan maka kekuasaan akan menjadi "terminal terakhir" dari perjuangan politik. Sebagai terminal terakhir, ia akan memainkan kekuasaan dengan cara -- cara yang koruptif. Pada akhirnya kita menengok banyak politisi kita yang berakhir dengan su'ul khotimah yaitu mengakhiri kehidupan berpolitiknya dengan akhir yang buruk yaitu menjadi tahanan KPK karena kasus korupsinya atau penyalahgunaan kekuasaannya.
"Kesucian" Pasca Pilpres
Pemilu khususnya pilpres yang telah lewat pada bulan Pebruari yang lalu belum dapat dikategorikan sebagai aktivitas politik yang suci, bahkan ditengarai penuh dengan praktek yang kotor dan curang. Kalau dihubungkan dengan makna idul fitri di atas, politik kita belum mampu melahirkan tujuan politik yang suci. Bergulirnya sengketa  pilpres di Mahkamah Konstitusi menunjukkan bahwa pilpres kita dikategorikan sebagai aktivitas politik yang penuh dengan dosa politik. Para hakim MK tak ubahnya sebagai "malaikat" yang diturunkan oleh Tuhan di bumi Indonesia untuk mengadili dan "menghisap" dosa -- dosa politik yang dilakukan para politisi selama perhelatan pilpres baik sebelum pencoblosan, selama pencoblosan, maupun setelah pencoblosan.
Sebagai malaikat yang diturunkan Tuhan di bumi Indonesia, maka para para pengadil MK tersebut membawa misi Tuhan guna mengadili seadil -- adilnya. Suara hati mereka para pengadil MK itu diberkati "nilai -- nilai ilahiyah" guna memutus sengketa pilpres yang berkedilan untuk semua pihak. Artinya bahwa selayaknya hasil keputusan MK itu membawa kemaslahatan bagi ummat manusia di Indonesia.
Implikasi dari putusan MK bahwa semua pihak harus dapat menerima keputusan tersebut dan perlu memulai aktivitas politik dan pemerintahan selanjutnya. Makna fitri dan halal bil halal akan sangat relevan pasca putusan MK ini. Setelah melalui pangadilan di MK, maka hasil pilpres selayaknya kembali ke kesuciannya. Artinya pemenang dalam pilpres sudah memiliki legalitas dan legitimasi yang sangat kuat. Dalam konteks keislaman ditegaskan segala sesuatu yang sebelumnya haram selanjutnya menjadi halal, tinggal bagaimana para elit politik mampu memaknai hasil keputusan MK tersebut.
Perpolitikan di Indonesia merupakan praktek politik berbangsa yang sangat "unik" yang berbeda dengan perpolitikan di negara manapun di dunia. Istilah politik gotong -- royong, politik pertemanan, politik merangkul, politik silaturrahmi, dan politik rekonsiliasi  menjadi sesuatu yang sangat lumrah dipraktekkan oleh para elit politik kita. Politik ala Indonesia sangatlah cair, tidak ada batasan "hitam putih" dalam sejarah perpolitikan di Indonesia. Tidak berlaku pakem check and balance yang ekstrim dipraktekkan dalam kamus perpolitikan di Indonesia. Pada satu sisi kondisi tersebut merugikan praktek berbangsa dan bernegara yang pada akhirnya menyuburkan praktek KKN, dan pada sisi lain dianggap menguntungkan dikarenakan suasana perpolitikan kita yang "adem ayem" dan jauh dari konflik pertikaian politik yang mengarah kepada perpecahan bangsa.
Pada akhirnya bahwa pasca Keputusan MK nanti para elit politik dan elit partai politik perlu mempraktekkan silaturrahmi politik guna menciptakan pemerintahan yang kondusif yang benar -- benar mampu mempraktekkan kekuasaan politik yang penuh kesucian seperti yang ada dalam makna fitri dan halal bil halal di atas.
*Penulis adalah Dosen FISIP Untirta & Pemerhati Masalah Sosial Pemerintahan    Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H