IDUL FITRI DAN HALAL BIL HALAL POLITIK
Oleh : Agus Sjafari*
Â
Seluruh ummat muslim di dunia ketika mengakhiri ibadah puasa di bulan romadhan akan diakhiri dengan perayaan Hari Raya Idul Fitri, demikian juga ummat muslim di Indonesia. Mengutip beberapa referensi yang ditulis oleh beberapa ulama NU bahwa Idul Fitri bukan sekadar tentang hari perayaan, pakaian baru, dan hal-hal lain yang serba baru. Meski pada dasarnya umat muslim disunnahkan untuk menggunakan pakaian baru, tetapi secara hakikat, bukan itu makna sesungguhnya dari Hari Raya Idul Fitri. Lebih dari itu, Idul Fitri dimaknai sebagai bentuk refleksi diri, bentuk rasa syukur, dan kegembiraan (detik.com, 2024). Dalam hal ini, refleksi diri berarti setiap umat muslim dianjurkan untuk introspeksi diri dan kembali kepada fitrah Islamiyah. Artinya, umat muslim diharapkan dapat kembali suci setelah dibersihkan dengan puasa Ramadan selama 1 bulan penuh, yang kemudian disempurnakan dengan mengeluarkan zakat fitrah sebagai bentuk rasa syukur dan berbagi kepada sesama, serta saling memaafkan atas kesalahan yang pernah terjadi.
Hal yang menarik yang terjadi pada masyarakat di Indonesia bahwa di dalam merayakan hari raya idul fitri dilanjutkan dengan istilah "tradisi syawalan" atau yang lebih dikenal dengan istilah "halal bil halal". Istilah halal bil halal banyak digunakan masyarakat Indonesia saat berkumpul dengan sanak saudara dan kerabat seusai perayaan Idul Fitri. Meskipun mengandung unsur bahasa Arab, kata halal bil halal tidak ditemukan dalam kamus Arab modern maupun klasik. Halal bil halal hanya merupakan penyebutan khusus terhadap sebuah tradisi yang dikembangkan secara mandiri oleh masyarakat muslim Indonesia, dengan makna menguraikan "kekusutan tali persaudaraan" (Rusdiana, dalam uinsgd.ac.id : 2022).
Penerapan dari halal bil halal dalam momen hari raya idul fitri lebih kepada penerapan kesholehan sosial seorang muslim guna memperbanyak tali silaturrahmi dengan sanak saudara, keluarga besar, serta para kolega guna sama -- sama saling meminta maaf dan memberi maaf dengan maksud untuk saling menghapus kesalahan -- kesalahan yang diperbuat pada masa -- masa yang lalu.
Adakah Korelasinya Dengan Politik?
Kegiatan puasa selama bulan romadhan merupakan kegiatan seseorang untuk menjaga hawa nafsu untuk melakukan sesuatu yang dilarang oleh Allah SWT serta dianjurkan untuk memperbanyak ibadah yang ganjarannya jauh lebih besar dibandingkan dengan bulan -- bulan lainnya. Keberhasilan seorang muslim menahan nafsu dan memperbanyak ibadah pada akhirnya diganjar dengan pahala yang berlipat -- lipat oleh Allah SWT, diibaratkan ketika hari raya idul fitri ia mendapatkan kemenangan dan seolah -- olah terlahir kembali sebagai bayi yang suci dikarenakan dosanya diampuni serta mendapatkan pahala yang berlimpah sebagai sebuah kemenangan sejati dari seorang muslim.
Aktivitas politik sebenarnya tidak ubahnya sebagai sebagai upaya dari seorang aktivis politik dan partai politik yang memperjuangkan dengan segala pengorbanannya baik pikiran, tenaga, biaya, jaringan guna memperoleh kekuasaan politik dalam bentuk jabatan publik entah itu sebagai legislator dan pejabat eksekutif baik di tingkat pusat maupun tingkat daerah. Keterpilihan seorang aktivis politik dan partainya dalam mendudukkan dirinya sebagai pejabat publik merupakan sebuah ganjaran apabila dilakukan dengan penuh pengabdian dan pengorbanan untuk kepentingan rakyat dan bangsanya.
Aktivitas politik pada dasarnya merupakan sebuah aktivitas yang suci dan memiliki tujuan yang sangat mulia apabila dilakukan dengan penuh etika dengan menjunjung tinggi moralitas yang tinggi. Â Dalam prakteknya kita menemukan bahwa aktivitas politik dilakukan dengan cara -- cara yang kotor guna memperoleh kekuasaan dan jabatan politik. Istilah "yang penting berkuasa dengan segala cara" menjadi sesuatu yang lumrah yang dipraktekkan oleh para politisi kita selama ini.
Idealnya para aktivis politik perlu mempertanyakan kembali niat berpolitik dan tujuan politik itu sendiri. Ketika niat berpolitik hanya untuk mencari kekuasaan dan kekayaan semata, biasanya ketika sudah memperoleh jabatan politiknya maka ia akan menjalankan kekuasaannya tersebut dengan "ugal -- ugalan" tanpa benteng etika dan moral yang kuat. Tujuan politik sendiri pada dasarnya suci, karena dalam politik terkandung tujuan mulia untuk mensejahterakan rakyat serta menciptakan keadilan dalam berbangsa dan bernegara.