SENJAKALA DEMOKRASI KITA
Oleh: Agus Sjafari*
Â
Demokrasi di Indonesia diibaratkan sebagai matahari yang terbit di era reformasi tahun 1998 diawali era kegelapan politik di masa rezim orde baru. Dalam kurun waktu lima tahun terakhir ini, cahaya demokrasi mulai redup dan akan menuju ke waktu terbenamnya. Dengan demikian, kita kembali akan menghadapi era kegelapan demokrasi yang akan banyak diwarnai dengan pembungkaman dalam menyuarakan kritik kepada rezim yang berkuasa. Pemilu 2024 merupakan ujung dari praktek buramnya masa euforia demokrasi kita, dimana pada pesta demokrasi yang baru selesai tersebut ditengarai penuh dengan kecurangan, intimidasi, penuh tekanan, ketidaknetralan kepala negara dan aparatnya, serta penuh manipulasi hasil pemilu. Kondisi ini menggambarkan sebagai "titik nadir" dari demokrasi kita. Indikator yang paling kita rasakan ketika menjelang pencoblosan, selama pencoblosan, bahkan sampai penetapan hasil pemilu menunjukkan suasana "kebisingan politik" dengan tensi tinggi yang masih belum menunjukkan hasil akhirnya. Suasana seperti ini tidak pernah kita rasakan sebelumnya dalam setiap pesta demokrasi yang dilaksanakan selama era reformasi berlangsung. Pada pemilu tahun 2019 sebenarnya juga terjadi kebisingan politik adanya konflik horizontal dengan perseteruan antara kelompok "cebong vs kampret", namun hal tersebut pada akhirnya berakhir setelah pemerintahan baru terbentuk.
Dalam pemilu tahun ini sepertinya konflik akan berkepanjangan tidak saja menyisakan konflik horizontal, namun juga konflik antar elit politik, dikarenakan pemilu tahun ini menyisakan luka politik yang sangat mendalam tidak saja dirasakan oleh para elit yang berkontestasi, melainkan juga akan dirasakan oleh sebagian besar rakyat Indonesia. Fenomena politik yang menarik yang terjadi di Indonesia, ketika konflik politiknya hanya berada di tingkat elit, maka hal tersebut akan mudah diselesaikan dengan pragmatisme politik elit melalui power sharing di pemerintahan. Ke depan kita memiliki pekerjaan rumah yang sangat besar yaitu bagaimana mengembalikan suasana politik yang benar -- benar demokratis, serta menata ulang konstitusi kita agar tidak mudah diinjak -- injak oleh kekuasaan politik eksekutif, mengembalikan marwah Mahkamah Konstitusi sebagai the guardian of constitution, penguatan KPK, mengembalikan kemandirian partai politik, serta yang paling penting adalah menciptakan kedaulatan negara dari penguasaan negara asing.
Pesta demokrasi melalui pemilihan umum merupakan hulu dari pengelolaan sebuah negara, karena di dalam pemilu akan menentukan siapa orang -- orang yang akan menjadi pemimpin negara terutama pemimpin eksekutif serta legislatif yang akan melahirkan produk -- produk kebijakan strategis negara setidaknya dalam lima tahun ke depan. Ketika pemilihan kepada negara dimulai dengan praktek KKN serta dipenuhi dengan praktek kecurangan, maka kebijakan -- kebijakan negara selanjutnya akan banyak juga dipenuhi oleh praktek KKN dan tidak akan berpihak kepada kepentingan rakyat dan negara. Proses pemilu yang tidak demokratis kemarin itu justru menjadi "akar masalah" dalam perjalanan panjang pengelolaan negara pada masa yang akan datang.
Demokrasi "Mati Suri"
Menurunnya suasana demokrasi di Indonesia sangat dirasakan pada masa kepemimpinan pemerintahan Jokowi pada periode kedua. Berdasarkan data Economist Intelligence Unit (EIU), kinerja demokrasi Indonesia dalam tiga tahun terakhir bergerak stagnan dan terdapat penurunan. Indeks demokrasi Indonesia Tahun 2022 memiliki skor 6,71 poin, nilai ini sama persis dengan skor Indeks Demokrasi Indonesia Tahun 2021 yang juga 6,71 poin. Hanya saja, Indonesia harus turun ke peringkat 54 di dunia dari peringkat 52 Tahun 2021. Indonesia pun masuk dalam kategori demokrasi cacat (flawed democracies) . Hal yang lebih buruk lagi terjadi pada Tahun 2023, dimana terjadi penurunan angka menjadi 6,53 poin dan peringkat turun lagi menjadi peringkat 56. Data Reporters Without Borders (RSF) juga menunjukkan penurunan terhadap skor kebebasan pers Indonesia, yakni dari 63,23 poin pada 2019 menjadi 54,83 poin pada 2023. Beberapa data tersebut merupakan "alarm kematian" demokrasi kita dalam beberapa tahun yang akan datang.
Melemahnya demokrasi kita dalam beberapa tahun terakhir dikarenakan lemahnya supremasi hukum selama ini. Hukum selama ini dijadikan sebagai alat politik dan kekuasaan semata. Praktek hukum yang dijadikan alat politik ditengarai sangat telanjang dipraktekkan dalam pemilu yang lalu. Pimpinan partai politik dihantui oleh jeratan hukum sehingga menjadi bargaining politik untuk mendukung dan memenangkan calon pasangan tertentu. Hal yang sama juga ditengarai terjadi pada setiap kepala daerah, kepala desa, para pejabat publik lainnya yang ujung -- ujungnya menjadi sarana untuk meraup suara yang sebanyak -- banyaknya guna memenangkan pasangan yang didukung pemerintah.
Sistem pemerintahan presidensial telah kembali lagi kepada "wajah buruknya" yang mampu menerabas hukum dan konstitusi serta mengintervensi setiap lini kehidupan negara guna memperoleh kekuasaan dan memperpanjang rezim yang berkuasa. Meskipun pelaku utama rezimnya berganti, namun sistem, pola, dan strategi yang digunakan tetaplah sama yaitu dengan melakukan "abuse of power".
Partai Politik yang "Lemah Syahwat"