Mohon tunggu...
Agus Tjakra Diredja
Agus Tjakra Diredja Mohon Tunggu... Guru - Pengajar

Hapus batas dunia, jelajahi isinya. Jika jenuh, temukan kedamaian dalam secangkir kopi dan keheningan, karena menulis adalah pelarian dan cara berbagi cerita

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Rindu Ibu, Rindu yang Tak Terhapus oleh Waktu

20 November 2024   05:20 Diperbarui: 20 November 2024   07:19 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(ibu dan bu Guru yati (Sumber : Dokumen Pribadi))

Notifikasi WhatsApp tiba-tiba berbunyi di tengah hari yang tenang. Rupanya pesan itu datang dari seorang teman lama, teman masa kecilku saat kami masih duduk di bangku SD. Lebih dari itu, kami pernah menjadi tetangga, tumbuh bersama di lingkungan yang sama. Ada rasa hangat yang menyeruak di dada, mengingat kenangan indah masa kecil. Dengan hati penasaran, aku membuka pesan tersebut.

Isi pesannya berupa sebuah foto tua yang diabadikan di rumahku waktu remaja. Foto itu membawa kembali sepotong masa lalu yang tersimpan rapi di sudut ingatan. Aku tersenyum, mengingat saat-saat bermain di halaman rumah, berlari tanpa beban, dan tertawa sepuasnya tanpa memikirkan beban hidup. Seakan belum cukup membawa nostalgia, teman lamaku mengirimkan foto lain---foto yang membuatku tersentak sejenak. Foto Ibunya yang kami panggil Bu Guru Yati, sosok yang begitu kami hormati. Beliau adalah guru TK kami, yang lembut dan penuh kasih. Di masa-masa itu, beliau bukan hanya sekadar pengajar, tetapi figur yang membimbing kami dalam tahun-tahun awal kehidupan.

Percakapan kami mengalir santai di WhatsApp. Kami berbagi cerita dan tawa, mengenang kenakalan masa kecil dan kebaikan orang tua. Nostalgia itu semakin dalam ketika teman lamaku mengirimkan foto terakhir: sebuah foto Ibuk bersama Bu Guru Yati, sudah sepuh, tetapi keduanya masih tampak sehat dan ceria, Alhamdulillah. Foto itu menyentuh hatiku, mengingatkan akan hubungan persahabatan yang mereka jalin sejak lama. Temanku menuliskan, "Kangen sama bestie-nya." Aku hanya bisa tersenyum dan menghela napas panjang.

Ibuk dan Bu Guru Yati adalah sahabat karib sejak dulu. Menurut cerita, mereka menjalani masa-masa sulit di era 70-75-an, ketika hidup benar-benar penuh perjuangan. Salah satu kisah yang sering mereka ceritakan adalah bagaimana beras segenggam menjadi solusi untuk bertahan. Dengan sabar dan penuh kreativitas, beras itu diolah menjadi bubur agar cukup untuk seluruh keluarga. Hidup memang berat kala itu, tetapi ikatan persahabatan mereka justru semakin erat karena sama-sama merasakan suka dan duka.

buk selalu menceritakan kisah-kisah itu dengan senyum yang tersungging di wajahnya, seakan setiap tantangan yang pernah dihadapinya hanyalah bumbu dalam perjalanan panjang kehidupan. Aku bisa membayangkan bagaimana ia dan Bu Guru Yati, di tengah segala keterbatasan, saling mendukung dan menguatkan. Meski banyak kesulitan yang mereka hadapi, cinta, persahabatan, dan kehangatan tidak pernah redup. Kisah ini, dari generasi yang penuh perjuangan, menjadi pelajaran berharga tentang makna kesederhanaan dan keteguhan hati.

Rasanya aku bisa mendengar suara tawa Ibuk yang renyah, atau melihat senyumnya yang penuh kasih dari kejauhan. Saya di ujung timur Pulau Jawa, merasakan betapa rindunya hatiku kepada Ibuk. Tidak ada pelukan yang lebih hangat daripada pelukan seorang ibu, tidak ada suara yang lebih menenangkan daripada suara lembut yang menyapa di waktu pagi. Ibuk adalah rumah yang selalu kurindukan, yang selalu membekas dalam setiap jejak perjalanan hidupku.

Rindu ini mengajarkan bahwa cinta seorang ibu tidak lekang oleh waktu. Di tengah kerinduan ini, aku sadar bahwa setiap momen bersama Ibuk adalah berkah yang harus disyukuri. Senyum, tawa, dan cerita-ceritanya tetap hidup dalam ingatan, menjadi penghiburan di saat-saat ketika jarak memisahkan. Aku berharap bisa segera bertemu dan kembali menghabiskan waktu bersama, meskipun sekadar berbagi cerita lama dan tawa ringan.

ibu-dan-bu-guru-yati-sedang-bernostalgi-sumber-dokumen-pribadi-673d137ded641561f13488a3.jpeg
ibu-dan-bu-guru-yati-sedang-bernostalgi-sumber-dokumen-pribadi-673d137ded641561f13488a3.jpeg
Ibu dan Bu Guru Yati Sedang bernostalgi  (Sumber: Dokumen Pribadi)

Rindu pada Ibu adalah rindu pada akar kehidupan---rindu yang tidak pernah pudar dan selalu menghangatkan jiwa. Sebuah rindu yang tidak hanya sekadar nostalgia, tetapi pengingat akan cinta, ketulusan, dan kekuatan yang telah membentukku menjadi diri yang sekarang. Meski jarak memisahkan, kasih sayang Ibuk akan selalu hadir, membimbing setiap langkah yang kuambil. Rindu ini adalah penghormatan bagi beliau, sosok ibu yang tidak pernah tergantikan dalam hatiku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun