mushola tua yang menyimpan sejuta kisah. Bangunan sederhana dengan arsitektur khas masa lalu ini telah menjadi saksi bisu perjalanan waktu dan perekat ukhuwah masyarakat. Dinding-dindingnya seolah berbisik tentang nilai-nilai luhur yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Di sudut kampung yang tenang, berdiri kokoh sebuahKonon, mushola tua ini didirikan oleh seorang ulama yang sangat dihormati di kampung. Beliau berkelana dari satu tempat ke tempat lain untuk menyebarkan agama Islam. Ketika tiba di kampung ini, beliau merasa terpanggil untuk membangun sebuah tempat ibadah. Dengan bantuan warga, mushola pun berdiri kokoh di atas tanah wakaf. Seiring berjalannya waktu, mushola ini mengalami beberapa kali renovasi, namun arsitektur aslinya tetap dipertahankan.
Setiap pagi, sinar matahari pagi menyinari jendela-jendela berukir mushola, menciptakan suasana yang khusyuk dan damai. Aroma kayu jati tua dan wangi dupa seakan menyambut kedatangan para jamaah. Ingatan akan Pakde Wiro, imam masjid yang kharismatik, masih segar dalam ingatan para jamaah. Beliau tidak hanya mengajarkan ilmu agama, tetapi juga menanamkan nilai-nilai kemanusiaan yang mendalam. Kisah-kisah inspiratif tentang para sahabat Nabi dan ulama besar seringkali beliau sampaikan dengan penuh semangat, membakar semangat juang generasi muda.
Perempuan-perempuan kampung memiliki peran yang sangat penting dalam menjaga kelangsungan kegiatan di mushola. Mereka aktif dalam kegiatan pengajian, membuat makanan untuk acara-acara keagamaan, dan mendidik anak-anak tentang nilai-nilai agama. Kelompok pengajian ibu-ibu menjadi wadah bagi mereka untuk saling berbagi ilmu dan pengalaman. Dengan demikian, mushola tidak hanya menjadi pusat ibadah bagi laki-laki, tetapi juga menjadi ruang bagi perempuan untuk mengembangkan diri.
Setiap bulan Ramadan, mushola menjadi pusat kegiatan keagamaan. Selain sholat tarawih berjamaah, diadakan pula tadarus Al-Quran, kajian tafsir, dan berbagai lomba keagamaan untuk anak-anak. Suasana penuh kekhidmatan dan kegembiraan menyelimuti seluruh warga kampung. Mushola juga menjadi tempat untuk berbagi rezeki dan membantu sesama, misalnya melalui kegiatan bakti sosial atau pengumpulan dana untuk korban bencana.
Di tengah gemerlap dunia digital yang semakin menguasai kehidupan, mushola tua ini berdiri kokoh sebagai oase ketenangan. Setiap sore, anak-anak kampung berbondong-bondong menuju mushola, meninggalkan gadget dan game online sejenak. Dengan khusyuk, mereka mengikuti pengajian, menghafal Al-Quran, dan bermain permainan tradisional. Mushola menjadi benteng terakhir bagi mereka untuk menjaga kejernihan pikiran dan hati, sekaligus menjadi tempat perlindungan dari pengaruh negatif dunia maya. Di sini, mereka diajarkan untuk menyaring informasi, berpikir kritis, dan tidak mudah terpengaruh oleh hoaks. Mushola mengajarkan kita bahwa kebahagiaan sejati tidak terletak pada harta benda atau kesenangan duniawi, tetapi pada kedekatan kita dengan Sang Pencipta.
Mushola tua lebih dari sekadar bangunan, ia adalah simbol keteguhan iman dan warisan budaya yang harus tetap dijaga bersama. Di era digital yang serba cepat, mushola menjadi tempat kita kembali kepada fitrah, menenangkan jiwa, dan memperkuat tali silaturahmi. Dengan terus merawat dan melestarikannya, kita telah ikut serta dalam menjaga warisan leluhur dan memastikan nilai-nilai agama tetap hidup di tengah masyarakat.
Di balik dinding-dinding tua mushola itu, tersimpan rahasia kebahagiaan yang sederhana. Dalam era digital yang serba instan, mushola mengajarkan kita untuk bersabar, bersyukur, dan menghargai setiap momen. Apakah di tengah hiruk pikuk notifikasi dan tuntutan dunia maya, kita masih ingat akan pentingnya menenangkan jiwa dan merenung sejenak? Mungkin, di tengah hiruk pikuk kehidupan modern, kita perlu sesekali kembali ke tempat-tempat seperti ini untuk menemukan kedamaian batin dan merenungkan makna hidup.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H