Mohon tunggu...
Agus Budi Purwanto
Agus Budi Purwanto Mohon Tunggu... profesional -

merindukan banyak sahabat

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Perempuan Berproduksi

22 November 2010   07:15 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:24 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Paska krisis ekonomi dunia 1998 maupun 2008, kita semakin tersadarkan bahwa yang mampu bertahan adalah usaha kecil dengan sistem pengelolaan koperasi (bersama-sama), ketimbang perusahaan skala menengah dan besar yang berbasis konglomerasi.

Di lain pihak, krisis tersebut juga menyadarkan kita bahwa peran perempuan sangat penting dalam recovery ekonomi keluarga, ketika banyak kepala keluarga laki-laki yang terkena PHK di kota.

Dua kondisi tersebut yang mendorong pemerintah dan berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat untuk membangun dan membangkitkan kembali geliat sektor riil industri rumah tangga di desa-desa yang menempatkan perempuan dalam garis depan.

Pisang dan Melinjo

Di Kecamatan Panggang, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, terhampar lahan tegalan yang dipenuhi tanaman berbasis kayu (jati dan mahoni) dan tanaman berbasis buah (melinjo, pisang, ketela, jagung, dll).

Salah satu usaha memanfaatkan tanaman berbasis buah ada di dusun Blimbing, Desa Girisekar, Kecamatan Panggang. Anggota kelompok berjumlah 20 orang perempuan atau ibu-ibu, dengan jadwal produksi dua kali seminggu setiap hari kamis dan minggu. Masing-masing hari terdapat 10 anggota yang bekerja. Setiap berangkat bekerja mereka membawa kayu bakar untuk berproduksi memasak pisang dan melinjo menjadi kripik dan emping.

Kelompok dusun Blimbing saat ini memproduksi kripik pisang dan emping melinjo. Setiap hari produksi, 10 orang anggota berhasil memproduksi 1 tunduk pisang kepok dengan harga Rp. 30.000. Setelah diproduksi dapat menghasilkan uang hasil penjualan Rp. 60.000. Sementara itu, setiap hari produksi, 10 orang anggota yang lain memproduksi 1 kg melinjo menjadi ½ kg emping melinjo mentah dan laku dijual Rp. 11.000.

Jadi secara kasar, setiap bulan hanya menyerap 4 tunduk pisang dan 4 kg emping. Setahun ini, praktis tidak ada grafik peningkatan kapasitas produksi setiap bulannya. Secara umum, kegiatan ibu-ibu ini lebih menitikberatkan pada kerukunan antar warga saja. Sementara itu, orientasi meningkatkan produksi masih kecil.

Bahan baku berupa pisang dan melinjo dibeli di dari dusun sendiri. Sementara itu, pemasaran selama ini masih di dalam dusun yaitu dititipkan di 3 warung kecil di dusun Blimbing. Konsumen akhir yaitu para warga yang butuh kripik pisang dan emping melinjo untuk suguhan kalau ada tamu. Istilah mereka, untuk “wedangan”, yaitu teman bagi wedhang teh ataupun kopi. Harga per kemasan kripik pisang Rp. 2.000, sementara itu emping mlinjo masih dijual mentahan.

Jadi, ini prototype dari kedaulatan ekonomi desa. artinya, kebutuhan warga desa berupa jajanan dapat dipenuhi dari produksi dari desa itu sendiri. Peredaran uang cukup berada di desa saja.

Kedaulatan Ekonomi Desa

Setiap anggota yang tidak dapat datang di hari produksi, wajib membayar uang Rp. 5.000 pada kelompok. Setiap anggota yang datang dihari kerja, wajib membawa kayu bakar secukupnya untuk berproduksi.

Yang unik, uang hasil penjualan, separohnya dimasukkan di tabungan kelompok yang pada akhirnya dipinjamkan ke 20 anggota yang membutuhkan. Sementara itu, separoh yang lain digunakan untuk membeli bahan baku dan untuk membeli minyak goreng dan lain-lain.

Jadi kasat mata dapat terlihat, mengapa kapasitas produksi tidak bertambah selama setahun ini. Karena setiap hasil penjualan separohnya dimasukkan ke tabungan kelompok untuk simpan pinjam. Jadi, ini fakta usaha yang unik. Ibu-ibu berproduksi buat makanan olahan untuk menambah uang tunai kelompok simpan pinjam.

Dengan bekerja di kelompok usaha olah makanan, maka ibu-ibu dapat meminjam uang di kelompok simpan pinjam. Jika ingin kas simpan pinjam bertambah besar, maka produksi makanan olahan harus ditingkatkan.

Terdapat hubungan yang sangat unik antara lembaga keuangan milik masyarakat dengan lembaga usaha produksi milik masyarakat juga. Hubungan yang saling membesarkan. Peningkatan produksi pada kelompok usaha sebanding dengan peningkatan modal kelompok simpan pinjam, karena separoh dari hasil penjualan makanan olahan di alokasikan ke penambahan modal kelompok simpan pinjam.

Dapat di katakan, inilah model original dari kebertahanan masyarakat desa dalam menghadapi tekanan kekuatan ekonomi dari pihak luar.

Saat ini, masyarakat Gunungkidul tengah berusaha mengembangkan agro-industri berbasis sumberdaya alam lokal. Peningkatan peran serta kaum perempuan sangat mendesak untuk terus didorong mengingat begitu potensialnya kaum perempuan bagi bagunan ekonomi rumah tangga.

Geliat usaha produk makanan olahan di desa-desa Gunungkidul memuat cita-cita luhur, sebagai upaya peningkatan pendapatan rumah tangga serta konservasi tanaman berbasis kayu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun