Mendapati tulisan Airlangga Pribadi (Kompas 4/11) yang berjudul “Anyer – Panarukan”, saya semakin yakin bahwa sejarah yang tersampai melalui narasi sejarah dapat dirujuk untuk penanganan persoalan kekinian.
Airlangga memperluas konteks pembangunan jalan Daendels tersebut menjadi urusan hubungan politik Desa vis a vis Negara. Titik argumentasinya pada pelibatan masyarakat desa dalam ruang dan keputusan politik negara. Semestinya, negara paska-kolonial ini (Indonesia) berbeda dengan negara kolonial milik kerajaan Belanda dulu (bernama Hindia Belanda). Namun, Airlangga tidak mendapati perbedaan itu.
Saya teringat ungkapan seorang sejarawan dari Yogya, yang membedakan kita dengan makhluk hidup lain di alam semesta ini adalah kesadaran sejarah. Binatang dan tumbuhan tidak menjadikan ingatan sebagai bahan pertimbangan kehidupan, apalagi sebagai pembelajaran bagi anak turunnya. Ketika kita berusaha ahistoris, maka sejatinya kita mendistorsi diri sebagai manusia seutuhnya. Jika demikian, dalam bahasa alm. mbah Surip, kita udah ngga pull lagi sebagai manusia.
Historical habits of mind
Esok pagi di dua tahun yang lalu, Obama dilantik dan berpidato sebagai presiden Amerika terpilih. Enam hari lagi, kalau jadi, Obama akan datang ke Republik ini. Anda bisa menyandingkan pidato Obama dua tahun lalu dengan kebijakannya terhadap dunia ketiga macam negeri kita. Pidato bung Tomo 65 tahun yang lalu di Surabaya dapat anda sandingkan dengan rencana penganugrahan gelar pahlawan nasional bagi Suharto. Demikian juga penanganan mitigasi bencana wasior, mentawai, dan merapi yang dilakukan pemerintahan SBY saat ini dapat anda sandingkan dengan penanganan bencana ala Orde Baru. inilah dalam bahasa salah seorang sejawan dari Yogya disebut Historical Habits of Mind: di dalamnya termuat kemampuan untuk mengevaluasi contoh perubahan di masa lalu serta kemampuan memandang realitas secara diakronis (vis a vis pandangan sinkronis).
Persoalan republik kita saat ini penuh, tetapi sejarah sebenarnya menghadirkan fakta dan perspektif penanganan. Pintu itu dibuka lebar melalui narasi sejarah yang dibangun oleh sejarawan akademik maupun sejarawan partikelir. Kita tinggal memanfaatkannya, jika bersedia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H