.....: Enak jamanku to?
.....: Apa?!
.....: Mbahmu kiper!
Jawaban yang selalu tiba-tiba ingin aku ucapkan ketika mendengarkan istilah perbandingan jaman sekarang dan jaman dahulu, zaman dimana ketika kekuasaan benar-benar dikuasai oleh sebuah rezim.
Masa dimana segala sesuatu penuh dengan manipulasi dan kepura-puraan.
Bagaimana tidak. Masih ingat pada masa itu, hal-hal yang dulu serasa wajar dan dimaklumi, ternyata sekarang menjadi sesuatu yang jauh dari kepantasan. Masa lalu menjadi kenangan indah, hanya pada taraf indahnya masa remaja dan jernihnya sungai yang menjadi satu-satunya tempat kami menghabiskan waktu-waktu yang panjang.
Kesadaran tentang bobroknya sistem dan pelayanan pemerintahan muncul ketika kesadaran itu disuarakan dengan lantang dan mengancurkan dinding penguasa saat itu.
Lagu nina bobo yang terus dinyanyikan untuk rakyat saat itu bener-benar mampu membangun mimpi-mimpi yang tak pernah berhenti. Mimpi yang menidurkan kesadaran rakyat akan hak tentang sesuatu yang layak. Bahkan layak pun sudah dimanipulasi dan dipoles dengan standar yang bersandar pada titik nadir.
Semua nampak tragis dan nelangsa, kalau dibicarakan.
Bagaimana tidak tragis, karena ulah monopoli keputusan pemerintah tentang uang beras bagi pegawai negeri dengan memotong harga beli beras dengan kualitas baik, tapi mengirimkan beras dengan hampir 25%nya berisi kutu, dan bahan pemutih sebagai alat kamuflase supaya terlihat layak untuk dikumsumsi menjadi pemandangan dan pengalamanku dari sejak lahir sampai masuk remaja. Tak aku sadari semua serasa berjalan biasa saja. Dan hampir separuh dari masa pertumbuhanku dipasok dengan protein hewani dari kutu yang mungkin tidak sengaja terkirim oleh bersama beras2 itu.
Masih jelas di benak, bagaimana seluruh air di parit belakang rumah mendadak menjadi putih ketika ibu sedang mencuci beras sebelum dimasak. Warna yang dihasilkan dari banyaknya pemutih yang waktu itupun tak aku sadari bahwa itu adalah pemutih.
Lebih konyol lagi, layaknya istri seorang pegawai negeri di sebuah desa, ibuku dituntut aktif dalam kegiatan yang berkaitan dengan kegiatan desa, atau bahkan sampai kegiatan tingkat kabupaten. Dari kegiatan perkumpulan ibu-ibu PKK sampai kegiatan mempersiapkan skenario konyol bila akan ada kunjungan dari kepala daerah atau setingkatnya. Menyulap kebun kosong warga menjadi apotik hidup dalam semalam. Dengan cara mengumpulkan tanaman yang sudah hidup dalam pot. Menaman se-pot2 nya. Atau membantu membuat kolam ikan dengan melubangi tanah dan melapisinya dengan plastik. Seakan menjadi agenda rutin yang sudah saling dipahami. "asal bapak senang" itulah visi yang dipegang saat orde itu berjalan. Memanipulasi, dan merekayasa itu agenda yang pasti.
Setelah lulus SMA, kuliah hanya menjadi acara untuk mencari status. Toh, nanti lulus kuliah, cukup gampang untuk mencari kerja. Asal ada koneksi dan uang. Posisi langsung kepegang.
Sudah banyak kok contoh!
Tono anak tetangga, sekolah tidak terlalu pitar, bahkan termasuk naik kelas saja sukar. Bisa diterima ke sekolah bergengsi ikatan dinas milik pemerintah karena ada fulus yang dipersiapkan. Semua serba gampang untuk berlaku curang.
Bicara soal kesehatan. Ada puskesmas, gedung yang dipunyai tidak pernah berubah dari saya lahir sampai mau kuliah. Dan praktik bidan beralih di rumahnya. Karena memang lebih layak, karena memang setiap tahun mampu dia renovasi rumah. Dan entah dia dapat dari mana biayanya.
Hiburan, satu-satunya adalah televisi yang hanya mempunyai satu siaran, itu pun berisi tayangan hasil manipulasi sebuah keberhasilan pembangunan. Dengan slogan-slogan tentang tanah kita adalah tanah surga. Tapi surga bagi sebagian yang mampu menguasainya.
Tidak semua mendapatkan surga itu, terutama bagi keluarga teman SD ku. Seluruh keturunan tidak punya hak apapun di negeri ini, karena leluhurnya pernah menjadi simpatisan sebuah partai yang dilarang oleh penguasa saat itu.
Beruntung bapaknya tidak ikut dibantai saat itu. Mungkin Tuhan belum berkehendak. Karena hanya Tuhan yang mampu menyelamatkan nyawa seseorang yang dianggap dan dicap PKI dari pembantaian masal saat itu. Tanpa pengadilan, tanpa penjelasan. Rakyat dipakai menghabisi rakyat. Pikiran mereka yang polos dan tangan mereka yang bersih, dipaksa menumpahkan darah saudaranya sendiri.
Orde yang dimulai dengan tumpahnya bergalon-galon darah. Pasti mampu melaksanakan pemerintahan yang tegas. Sangat tegas. Sehingga mampu menyumbat suara yang sumbang dan tidak senada dengan irama yang pemerintah nyanyikan. Mahasiswa, politikus, pengamat, ulama, atau siapaun akan tiba-tiba hilang jika dia mencoba bernyanyi. Bernyanyi lagu yang tak direstui oleh sang penguasa. Hilang tinggal nama. Dan hilang dengan kisah yang berbeda-beda.
Mana mungkin bisa dibandingkan dengan sekarang. Zaman juga berbeda, kebebasan berbicara kadang malah kebablasan. Masalah rezeki dan penghasilan, adalah hasil dari rencana dan usaha kita masing-masing. Begitu pula masalah keyakinan. Kebahagiaan itu bersumber dari cara kita mengelola rasa syukur dengan apa yang kita punya dan yang ada di sekitar kita. Bukan pada apa yang orang lain atau pemerintah lakukan.
Setiap zaman, ada enak dan tidaknya. Tapi paling tidak, kesadaran hukum dan keterbukaan atas hak dan kewajiban sebagai warga negara, kini sudah mulai ada daripada sebelumnya. (Sebagian teks hilang)
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI