Mohon tunggu...
Agus Edi Santoso
Agus Edi Santoso Mohon Tunggu... -

Guru SMP Tunas Bangsa Gading Serpong

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ibadah dan Belajar

29 Januari 2017   19:41 Diperbarui: 29 Januari 2017   19:55 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Lah, piye to?

Seharusnya sejak awal sudah kita sadari, bahwa pandangan tentang kualitas keimanan seseorang dilihat dari seberapa sering melakukan ritual keagamaan itu tidak sepenuhnya benar. Lah kok bisa?

Begini, .. Bicara soal ritual keagamaan(berdoa, ketempat ibadah, dll)  mungkin bisa dianalogikan dengan bagaimana kita belajar di sekolah.

Tujuan akhir ketika kita belajar di sekolah, bukan hanya seberapa rajin kita melaksanakan kewajiban kita sebagai anak sekolah. Memang benar, anak sekolah mempunyai kewajiban untuk belajar. Dan bahkan seolah  harus menghabiskan waktu dan usianya untuk terus belajar dan belajar. Begitu juga kewajiban keagamaan. Bagi beberapa orang tua yang melihat anaknya menggunakan waktunya hanya untuk urusan sekolah, pasti merasa tenang dan bangga. Begitu pula kalau saya kaitkan dengan masalah agama. Pasti setiap orang tua merasa cita-cita dan harapan atas anankya sudah terwujud ketika melihat mereka rajin dan tidak pernah lalai.

Tapi selayaknya sebuah sekolah. Setiap sekolah memiliki standar dan indikator bahwa apapun yang selama ini anak lakukan masuk kategori berhasil. Atau bisa dibilang lulus. Dan tentunya dengan nilai-nilai yang bagus. Indikator yang ditampilkan dalam bentuk nilai, barang pasti menggambarkan kualitas keilmuan yang dimilikinya. Karena semua sudah diuji sesuai bidang keilmuannya masing-masing. Tentunya jarang sekali nilai itu salah dalam mewakilkan kualitas anak tersebut,  jika segala proses pembelajaran, dan evaluasi dilakukan dengan benar. bahkan tak mungkin bisa salah jika korelasi atas apa yang dipelajari, proses pembelajaran dan alat evaluasi itu tepat.

Lah kalau soal beragama, indikator yang dilihat kan bukan ujian tentang teori keagamaanya. Tentunya kualitas yang ditimbulkan pada kualitas spiritual manusianya. Bagaimana dia seharusnya mulai mampu meninggalkan sesuatu yang berhubungan dengan duniawi atau pun kebutuhan daging dan lebih mengarah pada kerohanian (kebutuhan ruh). Lah kalau hasil dari peribadatan kita hanya menghasilkan sesuatu yang hanya menimbulkan kebencian, kecemburuan, keserakahan, dan hal-hal lain yang jauh dari kedamaian. Pasti ada yang salah. Bisa jadi, cara kita beribadah,  sumber pedoman, atau mungkin kita tidak mampu memahami makna ibadah itu sendiri. Seperti halnya kita salah mempelajari sebuah buku yang sebenarnya tidak diperlukan untuk ujian esok lusa.

Ibadah itu seperti belajar. Belajar memahami bagaimana kita bisa mendengarkan Dia bicara. Belajar menyingkronkan diri kita yang kotor pada Dia yang suci. Sehingga kita semakin seperti dia yang murni. Tidak terikat dengan apapun. Termasuk yang ada di dunia. Tawar akan kemewahan, tidak risau dengan iming-iming kekuasaan, tidak gelisah atas kekawatiran hari esok, jauh dari rasa cemburu dan dengki. Dan masih banyak lagi segala hal yang seharusnya semakin membawa kita serupa dengan Dia.

Ibadah itu bukan upaya menjilatNya agar dia senang dengan segala puji-pujian. Apalagi berusaha menginjak sesama yang juga ciptaanya hanya sekedar untuk membelaNya.

Ibadah itu seperti belajar. Belajar meningkatkan kualitas spiritual diri. Bagaimana kerohanian menjadi yang utama dalam jiwa kita yang tebungkus daging ini. Membedakan mana yang menjadi tuntutan keduniawian dan tuntutan kerohanian. Agar tak mampu kita dimanfaatkan dunia dengan atas nama keagamaan.

Membanggakan kuantitas atas rutinitas keagamaan yang belum tentu membangun spiritual, itu sama saja kita bangga pada anak yang rajin belajar setiap malam tapi tidak mampu membuatnya dirinya pintar. Dan berakhir pada kegagalan saat menempuh ujian.

Cek kembali, apakah pedoman, cara dan pemahaman kita sudah benar! sehingga kita tidak harus menangis dan menempuh remedial!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun