Pemilihan Kepala Daerah, Pilkada sudah di ambang pintu, besok. Daerah-daerah sudah mempersiapkan diri. Calon-calon sudah juga sudah ada, banyak yang sudah mempersiapkan diri jauh-jauh hari namun tidak sedikit yang jadi calon dalam waktu yang sangat mepet. Semuanya tergantung banyak faktor.
Politik Pilkada sudah jadi agenda yang cukup banyak menarik perhatian. Sejak reformasi sudah jadi memunculkan hingar bingar dan sangat dinamis. Dari wacana ke wacana: wacana perubahan, perbaikan, dan tarik-menarik kepentingan telah mewarnai politik Pilkada. Terakhir adanya Pilkada serentak 2024, yang akan berlangsung besok.
Pemilihan langsung dalam Pilkada adalah tuntutan reformasi dimana diharapkan rakyat berdaulat penuh menentukan pemimpinnya. Walaupun dalam tahapannya Parpol-lah yang menentukan pencalonan kandidat untuk dipilih. Dalam hal ini seyogyanya calon yang diusulkan Partai punya kriteria yang bisa diterima rakyat, dimana rakyat dapat menggantungkan harapan.
Apa yang jadi harapan rakyat sebetulnya?
Sebagai Kepala Daerah idealnya dituntut untuk menjalankan pemerintahan daerah demi kemajuan, kesejahteraan dan keberlanjutan pembangunan melalui kebijakan dan tata kelola. Untuk itu calon kepala daerah semestinya orang yg punya kemampuan diatas rata-rata, terlihat dari rekam jejak, latar belakang, yang merekam tingkat intelektual, emosional  dan juga spritual. Lebih jauh bahwa Kepala Daerah adalah pejabat negara, maka seharusnya juga memiliki peran untuk mencapai tujuan negara seperti yang ada dalam konstitusi, diantaranya mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kesejahteraan masyarakat. Apakah itu semua sejalan dengan harapan rakyat pada kepala daerahnya? Perlu membuat refleksi untuk hal ini.
Beberapa hari ini kita telah melihat bagaimana seorang calon di seleksi dan dimajukan partainya. Banyak dinamika dan tak lepas dari akal-akalan. Dukungan kelompok tertentu juga banyak menyumbang sengitnya penentuan calon. Disini juga banyak menonjolkan pragmatisme, oleh partai, kelompok bahkan individu masyarakat. Pragmatisme sulit untuk dilepaskan dari politik, namun seharusnya tidak boleh  paling menonjol dalam menentukan pilihan. Kecerdasan sangat diperlukan dalam menentukan pilihan. Sebetulnya masyarakat sudah dibantu dengan adanya debat calon. Masyarakat luas dapat melihat kwalitas calon yang ada. Kita sudah melihat contoh debat yang terjadi. Bagaimana calon menyampaikan visi dan misi, bagaimana menjawab pertanyaan, bahkan bagaimana bertanya kepada calon lain (ada yang hanya menanyakan nama-nama kecamatan ). Kedangkalan berpikir, miskin narasi, minus retorika terlihat jelas. Konten yang diangkat dan fokusnya sangat bisa dilihat bagaimana arah dan cara kepemimpinannya kelak. Ini semua bisa dilihat dengan jelas saat debat.
Sewaktu debat banyak juga terlihat adegan-adegan yang tidak seharusnya. Seperti kekerasan, pertengkaran antar calon bahkan ada calon yang adu jotos dengan pendukung debat. Ini jelas mengggambarkan karakternya.
Bagi petahana seharusnya satu langkah lebih dari penantangnya. Karena petahana bisa dengan mudah mamaparkan apa capaian (kalau ada) dan cara-cara yang akan ditempuh untuk perbaikan dan percepatan. Dari sinilah dibutuhkan kearifan memilih calon-calon yang ada.
Setiap calon mestinya menawarkan apa yang akan menjadi fokus dan apa program yang akan dibuat. Calon yang mengenal daerah dan masyarakatnya tentu dengan mudah menyusun prioritas dan programnya. Mengenal bukan berarti harus calon yang lahir atau besar di daerah itu, tidak. Tentu adanya ikatan pada daerah itu menjadi nilai plus tapi itu tidaklah hal yang mutlak. Banyak cara untuk lebih mengenal daerah, apalagi dengan adanya keterbukaan informasi, jaringan masyarakat dll. Dan yang paling penting ada keseriusan mengenal dan ketulusan ingin melayani serta adanya "common sense".
Banyak masalah-masalah yang kasat mata terjadi di masyarakat yang masih perlu penanganan serius. Kemiskinan, lapangan kerja, infrastruktur berkwalitas dll. Selain itu banyak hal-hal yang membutuhkan kebijakan untuk pengembangan masyarakat, SDM dan kwalitas ASN. Dalam hal ini termasuk pembinaan generasi muda melalui pendidikan, ketrampilan dan olahraga prestasi. Karena daerahlah seharusnya tempat pertama penyaringan dan pembinaan prestasi berjenjang hingga tingkat nasional.
Lima tahun sangat mungkin untuk menunjukkan keberhasilan yang real dan lima tahun lebih dari cukup untuk meletakkan pondasi dan legacy yang berharga bagi daerah.
Sekali lagi calon pemimpin daerah yang diperlukan tidak sekedar punya pengaruh karena kekayaan harta pribadi lalu dibagi dalam amplop. Namun paling penting yang memiliki kekayaan pikiran, ide, dan hati untuk melayani serta niat mencerdaskan masyarakat supaya daerahnya naik kelas.
Kalau hanya mengandalkan amplop dari kantong, maka akan menguap seketika. Dan jika terpilih maka menjadi alasan mengambil lebih untuk  mengisi kantongnya dan memupuk premanisme politik di daerah untuk mengawal perilaku korupnya.
Selamat memilih.
Agus Sihite
Nov 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H