“Tapanuli Peta Kemiskinan”, pernah jadi berita nasional di tahun 80 an. Dengan laporan jurnalisme tiga wartawan Sinar Harapan, harian nasional yang memberitakan keadaan Tapanuli saat itu setelah melakukan peliputan dari seluruh daerah di Tapanuli, sempat membuat panas telinga pejabat propinsi Sumatera Utara dan membuka mata pemerintah pusat dan masyarakat umum.
Mungkin berita itu tidak terlalu berpengaruh pada kehidupan keseharian masyarakat yang tinggal di Tapanuli saat itu, karena kehidupan tetap sama. Masa kecil saya tidak juga merasakan itu walau sayup-sayup mengingat berita itu. Seniman Batak sampai menggubah lagu, setidaknya dua lagu yang saya tahu tentang kemiskinan dan propinsi Tapanuli ketika itu.
Inilah titik kesadaran akan ketertinggalan Tapanuli dimasa pembangunan orde baru. Di jaman sebelumnya, jaman kolonial sebagai bangsa terjajah hingga di jaman orde lama dengan PRRI juga merupakan titik kesadaran rakyat Tapanuli untuk bangkit, terlepas dari unsur politik yang mengikutinya, namun diyakini memiliki tujuan mulia untuk lebih maju.
Tapanuli secara historis pada jaman pemerintahan Hindia Belanda dibentuk sebagai wilayah pemerintahan setingkat keresidenan, bernama Residente Van Tapanuli. Dalam sejarahnya nama Tapanuli muncul sebagai nama pemersatu puak-puak yang berasal dari suku yang sebenarnya adalah berakar sama, suku Batak, dimana nama Batak tidak diterima semua puak saat itu, karena kesan buruk.
Tapanuli berasal dari tiga kata, Tapian Na Uli yang awalnya meliputi daerah pantai barat membujur dari Natal, Sibolga hingga Barus. Kemudian wilayah dataran tinggi tanah Batak masuk dalam keresidenan Tapanuli.
Penerimaan nama Batak sebagai suku bangsanya mestinya tidak lah perlu diperdebatkan, karena dari sisi keilmuan, antropologi dan fakta sudah jelas adanya sebagai suku Batak, terlepas itu diterima atau tidak. Saya bahkan menamakan lebih dalam pada kartu identitas pilihan ras sebagai ras Batak.
Banyak keturunan Batak dari setiap puak yang jadi pesohor mulai jaman dulu. Ada wakil presiden Adam Malik bermarga Batubara dan pernah dua Perdana menteri bermarga Harahap.
Jaman Hindia Belanda, Karesidenan Tapanuli berpusat di Sibolga. Ini tidak terlepas dari kota Sibolga daerah yang lebih maju dan mendukung sebagai pusat pemerintahan saat itu.
Terakhir tercatat saat kemerdekaan, Keresidenan Tapanuli meliputi daerah Tapanuli Selatan (sekarang: Tapanuli Selatan, Padang Lawas, Padang Lawas Utara, Mandailing-Natal), Tapanuli Tengah, Tapanuli Utara (sekarang: Tapanuli Utara, Dairi, Pakpak Barat, Toba Samosir, Samosir, Humbang Hasundutan) dan Nias (sekarang: Nias, Nias Selatan, Nias Barat, Nias Utara). Keresidenan Tapanuli sebagai wilayah administrasi sejak jaman Hindia Belanda telah ditandai dengan perbedaan tanda nomor kenderaan bermotor (TNKB), dengan plat BB.