Pada peringatan Hari Pers Nasional (HPN) ke 68 yang baru lalu di Bengkulu, insan pers yang diwadahi oleh PWI menganugerahkan penghargaan kepada SBY dengan sebutan “sahabat pers”. Penghargaan ini dikatakan istimewa karena peringatan HPN ini adalah yang terakhir di hadiri SBY sebagai presiden.
Beberapa pertanyaan istimewa terbersit dipikiran penulis. Mengapa penghargaan ini diberikan diakhir jabatannya sebagai Presiden. Apakah SBY mendukung kebebasan pers baru-baru ini saja? Apakah benar-benar SBY sebagai sahabat pers? Lalu pers yang mana?
Dalam sambutannya ketua PWI mengatakan bahwa sahabat memiliki arti mendalam melebihi teman, bahkan lebih dari saudara. Terasa ungkapan itu sangat tepat namun dalam konteks penghargaan sebagai sahabat pers apakah ungkapan itu tepat. Ungkapan SBY sahabat pers, berarti pers menganggap SBY sebagai sahabat. Sebaliknya apakah SBY menganggap pers sebagai sahabat?
Sebenarnya pers yang mana yang menjadikan SBY sebagai sahabat.
Hampir tidak pernah ditemukan berita kunjungan kerja presiden SBY baik ke daerah maupun ke luar negeri. Kalaupun ada berita kunjungan hanya ketika ada demonstrasi penolakan dan yang diberitakan hanyalah demonstrasinya. Hampir tidak pernah dikabarkan tentang pertemuan bilateral maupun multilateral yang dilakukan presiden SBY dengan mitra Negara asing. Hampir tidak pernah ada liputan mengenai hasil sidang kabinet dan pencapaian bulanan. Media memang berhak untuk tidak memberitakan kegiatan presiden seperti halnya media itu juga berhak menyiarkan kegiatan dan kampanye pimpinan media itu bahkan di prime time.
Memang ada beberapa media cetak yang masih berimbang bahkan selalu menyisipkan sudut pandang berbeda tentang kegiatan kepresidenan. Namun media TV yang punya kekuatan pengaruh yang lebih besar justru sebaliknya, lalu bagaimana masyarakat bisa mengevaluasi kebijakan jika informasi yang disuguhkan tidak berimbang bahkan cenderung bias. Lalu bagaimana pemenuhan hak masyarakat mendapat informasi yang akurat dan berimbang seperti amanat UU.
Saya jadi teringat beberapa hari yang lalu, ketika kunjungan SBY ke Sinabung, pemberitaan jor-joran yang diangkat oleh TV berita nasional malah harga tenda fitnah dan rekayasa foto tas sumbangan. Tidak banyak berita dan ulasan tentang pesan, hasil rapat dan pidato SBY saat itu. Namun ironisnya beberapa hari kemudian tersiarlah kunjungan pimpinan media TV berita tersebut ke Sinabung dan liputan pidato berapi-api di depan pengungsi lebih kurang lima menit di berita prime time.
Sebutan “Sahabat pers” mungkin lebih tepat sewaktu SBY belum jadi presiden, bukan saat sekarang.
Mungkin masih ingat ketika peralihan reformasi, kemunculan SBY tidak muncul begitu saja. Proses reformasi pelan-pelan membawa namanya ke permukaan tentunya karena sorotan pers. Sebagai salah satu tokoh Reformasi internal TNI terutama mencuatkan namanya. Karena cara tutur kata dan kecerdasannya menjadi objek fokus pers. Jabatan terakhir di militer sebagai Kepala Staf Teritorial, tentu semakin mendekatkannya ke fokus lensa. Momen terpentingnya ketika dia dinominasikan sebagian masyarakat sebagai wakil presiden untuk mendampingi Megawati dan akhirnya kalah bersaing dengan Hamzah Haz, ketua parpol PPP sebagai partai oposan orde baru. Jadi lengkaplah yang menguasai percaturan politik saat itu (periode lengsernya Suharto dan runtuhnya Golkar) adalah partai oposan orde baru, kelompok akademisi dan cendikiawan (termasuk pendiri partai baru). Institusi TNI dan Golkar jadi bulan bulanan pers. Hanya kepiawaian dan kecerdasan individu di TNI dan Golkar lah yang membawa mereka tetap bertahan, SBY dkk. dan Akbar Tanjung dkk.
Tak dipungkiri, selama pemerintahan SBY kebebasan pers sangat di jamin. SBY tidak pernah “bermain kasar” dengan pers cukup dengan sindiran namun dirasa tiada manfaat juga. Kata-kata sindiran malah jadi amunisi menyerang balik SBY. Beberapa fakta tentang hal itu. Karena gerah atas pemberitaan pers, SBY menyindir namun itu dianggap mengeluh. SBY pernah menyindir pemberitaan Tempo dalam pidatonya di Kalimantan. Yang terakhir ketika kunjungannya ke Sinabung, karena pemberitaan fitnah tentang harga tenda, SBY menyindir dua TV berita. Entah siapa yang menyampaikan fitnah harga tenda namun jelas fitnah itu diberitakan luas walaupun harga itu sebenarnya tidak masuk akal dan patut untuk di cross check sebelum diberitakan namun itu tidak dilakukan. Menyebar luaskan fitnah bukanlah peran media.
SBY selalu berusaha memelihara hubungan dengan media, beberapa kali mengadakan pertemuan dengan forum pemimpin redaksi, mengundang wartawan istana, SBY hadir dalam hari pers, dll. Itu semua inisiatif dari pihak SBY sebagai kepala Negara. SBY menyadari pentingnya menguatkan peran pers.
Jadi sebenarnya SBY bukan sahabat pers, namum lebih tepat pers sahabat SBY. Atau mungkin SBY lebih layak dapatpenghargaan seperti, “SBY sahabat Youtube”, “SBY sahabat twitter”, dan “SBY sahabat Facebook”.
Wahai insan pers ingatlah amanat UU no. 40 tahun 1999.
Ayat 6. Pers nasional melaksanakan peranannya sebagai berikut :
a.memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui;
b.menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan Hak Asasi Manusia, serta menghormat kebhinekaan;
c.mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar;
d.melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum;
e.memperjuangkan keadilan dan kebenaran;
=======oooOOooo===========
Kemerdekaan pers, merdeka dari tekanan politik, tekanan penguasa, tekanan komersialisme
Kemerdekaan pers bukan tanpa batas.
Kemerdekaan pers bukan berkuasa atas hak orang lain, karena dengan berkuasa cenderung akan korup.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H