Mereka yang menempuh pendidikan sekolah dasar sekitar tahun 80-an hingga 90-an, tentu sangat familiar dengan buku pelajaran Bahasa Indonesia berjudul "Belajar Membaca dan Menulis" dan seri berikutnya, terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Departemen P dan K) dan PN Balai Pustaka.
Buku Legendaris yang Menginspirasi
Betapa tidak, buku pelajaran ini telah menjadi buku wajib bagi seluruh pelajar sekolah dasar di Indonesia pada umumnya; dari kota hingga ke desa, hingga ke pelosok perkampungan.
Dan saya sendiri mulai berkenalan dengan buku ini saat mulai duduk di bangku sekolah dasar pada Tahun Ajaran 1985/1986. Kala itu nama saya terdaftar sebagai salah satu siswa kelas 1 di SDN Ngrayung Plumpang I.
Melalui Ibu Wali Kelas saya, saya diperkenalkan dengan 5 tokoh utama yang terdapat dalam buku ajar ini. Nama-nama mereka begitu terkenal dan bahkan sampai hari ini tentu masih diingat oleh mereka-mereka yang saat ini rata-rata telah berusia kepala empat. Kelima tokoh dimaksud adalah: Budi, Iwan (adik Budi), Wati (kakak Budi), Ibu Budi, dan Bapak Budi.
Karena hampir setiap hari berkutat dengan buku tersebut, maka buku ini kemudian menjadi salah satu buku kesayangan yang saya miliki kala itu.
Pada masa itu semua siswa mendapat pinjaman buku tersebut dari sekolah secara gratis. Karena merupakan buku pinjaman, maka akhirnya buku tersebut harus dikembalikan ke pihak sekolah apabila masa pakainya telah usai.
Berkat kehadiran buku legendaris inilah, saya kemudian menjadi "cinta mati" dengan pelajaran Bahasa Indonesia. Dan saat menjadi guru pun, saya lagi-lagi mendapat kesempatan untuk mengajarkan pelajaran Bahasa Indonesia pada siswa-siswi yang saya dampingi.
Selama tiga tahun ajaran berturut-turut, saya mengajar Bahasa Indonesia untuk jenjang kelas 2 dan kelas 3 sekolah dasar. Selanjutnya selama 2 tahun ajaran berikutnya, saya diberikan kepercayaan untuk mengajarkan Bahasa Indonesia di jenjang kelas 7, 8, dan 9 di sekolah menengah pertama.
Pun selama pandemi Covid-19 melanda, saya pun mendapat kesempatan ekstra mengajarkan Bahasa Indonesia untuk jenjang SMP melalui Siaran Wadah Belajar (Wajar) di Radio Suara Banjar.
Oiya, jika saya telusuri kembali, keberadaan sekolah saya pada zaman dahulu yang saya kisahkan di atas, ternyata masih ada sampai sekarang. Namanya tetap SD Negeri Ngrayung, beralamat di Jalan Ngrayung Plumpang, Kecamatan Plumpang, Kabupaten Tuban, Provinsi Jawa Timur.
Jika teringat pengalaman manis semasa kanak-kanak di SDN Ngrayung I ini, perasaan saya tiba-tiba mengharu biru manakala mengingat dinding-dinding bangunan sekolah yang kala itu hanya terbuat dari papan kayu. Dindingnya dicat warna putih dengan gamping atau batu kapur yang dilarutkan sedemikian rupa dengan air.
Halaman sekolah ini hanya terdiri dari hamparan pasir berwarna hitam bercampur pasir pantai. Di halaman sekolah inilah saya dan teman-teman waktu itu menghabiskan waktu untuk bermain sepak bola atau permainan sederhana lainnya khas zaman itu.
Buku Kesayangan dan Oleh-Oleh Ayah
Saya barangkali termasuk salah satu siswa yang beruntung, karena bisa memiliki buku tersebut dan menjadikannya koleksi berharga pada masanya.
Dan keberuntungan tersebut bisa saya alami karena perhatian Ayah saya yang di kemudian hari membelikan buku-buku seri " Belajar Membaca dan Menulis" itu saat Ayah pergi ke kota.
Saya tidak ingat persis di mana Ayah membelikan buku-buku tersebut, barangkali di Kota Tuban atau bisa juga di Kota Surabaya. Yang pasti, setiap Ayah pulang dari dinas luar kota, selalu membelikan oleh-oleh untuk saya dan adik saya di rumah.
Selain buku pelajaran, Ayah juga biasanya membelikan majalah anak-anak, diantaranya "Bobo" atau "Ananda". Selain itu Ayah juga kerap membelikan kami baju dan celana baru serta aneka camilan yang menjadi kesukaan kami pada masa itu.
Dan sepulang Ayah dari luar kota, malam harinya saya bisa menebak peristiwa apa yang akan terjadi, pun di malam-malam berikutnya setelah itu. Ya, Ayah pasti akan mulai membacakan dongeng dari majalah anak-anak terbaru yang Ayah beli di kota.
Karena baru duduk di kelas 1 sekolah dasar, maka saat itu saya belum bisa memahami dengan baik aneka dongeng yang terdapat pada majalah anak-anak tersebut. Apalagi pada masa itu, segala sesuatunya masih sangat terbatas.
Tinggal di Tengah Masyarakat Pedesaan Tradisional
Desa Ngrayung termasuk salah satu desa yang pada zaman itu masih kental dengan kehidupan masyarakatnya yang serba tradisional.
Hanya segelintir warganya yang memiliki pesawat televisi hitam putih, sedangkan jumlah warga yang memiliki pesawat radio pun bisa dihitung dengan jari.
Keluarga saya termasuk beruntung karena bisa memiliki sebuah pesawat televisi hitam putih merk "Nasional" buatan PT. National Panasonic Gobel berukuran 14 inchi.
Pada malam-malam tertentu, saat ada gelaran Wayang Orang, rumah kediaman kami akan kedatangan para tetangga yang ikut serta menonton acara tersebut.
Suasana riuh rendah pun tercipta begitu saja. Dan jika saya perhatikan, para warga di sekitar rumah tampak begitu menikmati sajian acara itu, bak sedang menonton layar tancap gratisan.
Romansa masa lalu memang tak akan pernah habis untuk dikisahkan kembali.
Banjarmasin, 17 Mei 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H