Mohon tunggu...
Agus Puguh Santosa
Agus Puguh Santosa Mohon Tunggu... Guru - Guru Bahasa Indonesia

Menulis adalah jalan mengenal sesama dan semesta.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Menyoal WNA dan WNI yang Selalu Diperdebatkan!

18 Januari 2021   23:26 Diperbarui: 20 Januari 2021   05:54 618
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bila diminta membagikan kisah mengenai pengalaman bersahabat dengan WNA, saya pribadi pernah mempunyai pengalaman nyata sewaktu masih duduk di bangku SMA dahulu. 

Saat duduk di kelas 2 SMA (sekarang kelas 12), di kelas saya kehadiran seorang siswi hasil pertukaran pelajar dari Australia. Siswi tersebut bernama Lyndal Caller asal Yamba, New South Wales, Australia.

Dalam keseharian, saya sendiri tidak terlampau banyak berkomunikasi dengan Lyndal, karena bahasa Inggris lisan saya saat itu tidak terlalu lancar. 

Namun saya masih beruntung, karena si Lyndal ini bersahabat karib dengan teman dekat saya yang bernama Linda. Jadi, meskipun tidak terlalu mengenal Lyndal; saya masih sempat sekali waktu bercakap-cakap dengannya "dengan perantaraan" si Linda tadi.

Saat mengikuti pembelajaran Bahasa Inggris di kelas, saya mempunyai kesan tersendiri terhadap Lyndal sahabat saya ini. 

Jujur saat itu saya agak bingung, karena dalam beberapa kesempatan saat kami belajar susunan tenses yang menerapkan kata ganti waktu seturut kejadian berlangsungnya, oleh si Lyndal ini dianggap "sama saja" alias tidak mempunyai perbedaan signifikan dalam praktik percakapan lisan.

Saya yang semula beranggapan bahwa perbedaan bentuk kata kerja dalam pemakaian tenses mutlak dipahami seperti rumus yang sudah diajarkan; mendadak menjadi bingung sendiri. 

Lha ini orang bulenya saya menganggap bahwa tenses itu jangan dibuat susah, mengapa sekarang kami yang orang Indonesia ini harus menghafalkan rumus tenses-nya dengan njelimet begitu?

Akhirnya dari pengalaman unik tersebut, saya dapat menyimpulkan bahwa situasinya barangkali akan sama manakala si bule harus belajar Bahasa Indonesia sesuai dengan PUEBI (Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia) atau pada tahun-tahun terdahulu kita kenal sebagai EYD (Ejaan Yang Disempurnakan).

Tentu jika kita amati dengan baik, banyak dari para bule yang belajar Indonesia justru mampu berbicara dan menulis dalam Bahasa Indonesia dengan susunan kata dan ejaan yang lebih baik dibandingkan dengan orang Indonesia asli. Benar, bukan?!

Jika belakangan ramai kabar yang memberitakan tentang WNA yang dikecam netizen Indonesia akibat mempromosikan Pulau Bali sekaligus memberikan aneka tip yang bisa dipraktikkan agar dapat masuk ke wilayah Indonesia dalam situasi pandemi seperti sekarang ini; tentu tanggung jawab moral sekaligus sanksi hukumnya bisa diberlakukan pada WNA bersangkutan.

Barangkali hal demikian akan dianggap oleh masyarakat Indonesia sebagai "usaha akal-akalan/curang" agar bisa lolos dan masuk ke Indonesia dengan selamat sentosa. 

Sebenarnya kelakuannya tidak jauh berbeda dengan para "calo pembuatan surat keterangan hasil swap PCR abal-abal" yang beroperasi di lapangan dan dalam beberapa pemberitaan dikabarkan sudah diamankan oleh pihak berwajib.

Dalam kasus ini, para calo "memuluskan usaha" para penumpang pesawat agar dapat terbang ke kota tujuan berikutnya tanpa melakukan swap sesuai prosedur yang seharusnya. 

Karena praktik demikian sama-sama melanggar hukum, maka pihak berwajib/instansi berwenang harus mengambil tindakan tegas, agar perilaku menyimpang tersebut tidak beranak-pinak dan diikuti jejaknya oleh orang lain.

Kemudian ada dugaan bahwa WNA tersebut juga diduga tinggal di Pulau Bali tanpa mengantongi legalitas izin yang dipersyaratkan. Barangkali dalam realitasnya, ada juga WNI yang saat ini tinggal di negara-negara lainnya di luar Indonesia yang tidak mengantongi kartu identitas resmi, akibat proses masuknya WNI tersebut ke negara dimaksud pun dilakukan melalui jalur ilegal.

Jadi dalam situasi dan kasus tersebut, saya memandang WNA dan WNI sebagai pribadi yang memiliki harkat dan martabat yang sama sebagai seorang manusia. 

Bila melanggar hukum yang sudah ditetapkan oleh negara atau wilayah setempat, sebaiknya diberikan teguran terlebih dahulu. 

Bilamana tidak memberikan respon yang baik atau justru mengulangi perbuatan "melanggar hukum" tersebut dengan sengaja dan berulang-ulang; maka sudah saatnya pihak berwajib segera mengambil tindakan tegas.

Saya pribadi selama ini memegang prinsip simpel dan sederhana saja tanpa mau mengambil pilihan yang terkesan muluk-muluk. Terkadang sebuah pertanyaan yang tendensinya bertujuan membandingkan antara seseorang dengan pribadi lainnya, menjadi sesuatu yang tidak mudah dijawab atau dicarikan jawabannya.

Boro-boro mampu memandang WNA dan WNI sebagai pribadi setara; lha wong ketika diminta memberikan penilaian terhadap orang yang berbeda agama, suku, ras, maupun golongan (SARA) saja masih kesulitan kok! 

Belum lagi kalau segala sesuatunya kemudian diembel-embeli dengan berbagai latar belakang dan alasan yang ujung-ujungnya bertujuan untuk membenarkan diri.

Padahal kita semua tahu bahwa dalam bingkai Negara Kesatuan Indonesia (NKRI) sudah jelas-jelas memberlakukan berbagai prinsip adiluhung dan resep demi menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang rukun, damai, tentram, dan harmonis.

Banjarmasin, 19 Januari 2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun