Sore ini sembari membopong si kecil yang sedang tertidur lelap di pangkuan, saya berkesempatan mengikuti Virtual Talkshow yang diselenggarakan oleh Himpunan Duta dan Pendidik (HIDUP) Kalimantan Selatan. Dengan tema "Membuka Tirai Jendela Seribu Sungai: Dari Riset Menjadi Karya", virtual talkshow ini dengan bangga menghadirkan 'chef' novel fenomenal berjudul "Jendela Seribu Sungai (JSS)".
Kegiatan ini memanfaatkan aplikasi Google Meet yang pada umumnya memang jarang dimanfaatkan untuk kegiatan seperti ini. Jumlah peserta yang hadir tidak terlampau banyak. Namun saya tidak terlampau memusingkannya, karena hal itu tidak terlalu penting untuk diulas.
Nah, melalui virtual talkshow yang agak terlambat saya ikuti ini, saya memperoleh siraman pengalaman dari para aktor dibalik penerbitan JSS. Mereka adalah Miranda Seftiana yang asli orang Banua dan Avesina Soebli. Tentu nama Avesina Soebli tidak asing lagi di dunia perfilman Indonesia. Dialah produser sederet film fenomenal, diantaranya: Madre (2013), Edensor (2013), Ada Surga di Rumahmu (2015), dan Hujan di Bulan Juni (2017).
Mendapatkan kisah-kisah menarik dari mereka yang berada di balik kisah JSS, saya seakan-akan diajak untuk bertualang menjelajahi waktu, tempat, dan banyak kisah nyata - yang ternyata menjadi latar belakang penulisan novel yang satu ini.
Bahkan menurut Miranda Seftiana, dirinya pernah sungguh-sungguh mendatangi beberapa lokasi yang ada dalam novel tersebut. Misalnya saja di Kawasan Pegunungan Meratus dan menyusuri langsung beberapa sungai di Kota Banjarmasin dengan kelotok. Khusus mengenai kisah penyusuran sungai ini, Miranda pernah menjumpai sederet buaya yang sedang asik berjemur di suatu senja. Setengah berkelakar, Miranda berujar bahwa 'buaya' yang dimaksudkannya kali ini adalah buaya dalam arti yang sebenarnya.
Novel ini sejatinya merupakan hasil riset yang mendalam dari para penulisnya. Novel ini menurut saya telah berhasil mengungkapkan budaya, tradisi, dan bentang alam khas Kalimantan Selatan. Tentu tidak mudah membangun alur cerita seperti yang dilakukan para kreator novel ini. Bagi Anda yang sudah pernah membacanya, tentu Anda akan memperoleh sekumpulan pengetahuan tentang tradisi, kebudayaan, dan gambaran nyata indahnya alam Kalimantan Selatan. Anak asli Banjar bernama Arian adalah tokoh utama dalam novel ini, kemudian ada seorang anak perempuan keturunan Dayak bernama Kejora. Kisah menjadi semakin menarik dengan kehadiran tokoh lain bernama Bunga.
Khusus hal ikhwal mengenai 'kuriding' dan 'mantera' yang menjadi salah satu bagian menarik novel JSS ini, diulas begitu mendalam dalam virtual talkshow kali ini. Proses panjang yang menempuh waktu hingga dua tahun tersebut akhirnya berbuah manis sebuah novel yang kini lazim dijadikan buah tangan oleh warga Banua yang tengah pergi berkunjung ke tanah seberang.
Yang pasti, melalui virtual talkshow berdurasi satu setengah jam ini, saya mendapat kesempatan untuk menimba ilmu dari para penulis hebat di negeri ini. Salah satunya adalah Miranda Seftiana, yang biasanya hanya akrab saya sapa di media sosialnya.
"Senang berjumpa dengan Mbak Miranda sore ini, juga dengan Bapak Avesina. Setidaknya selain saya mendapatkan segudang pengetahuan yang kian memperkaya wawasan saya tentang dunia menulis, saya dan para peserta virtual talkshow sore ini boleh mendapatkan sedikit bocoran tentang rencana penerbitan sekuel novel Jendela Seribu Sungai yang nantinya akan menjadi trilogi dengan alur yang masih dirahasiakan!"
Barangkali di antara Anda yang sudah merampungkan membaca tulisan singkat ini akan bertanya lebih lanjut kepada saya, "Lho, Mas, kok rahasia sekuel novel JSS tidak Anda ceritakan lebih lanjut?"