Kita belum terbiasa dengan diskusi sehingga sulit untuk menerima perbedaan. Padahal berbeda itu adalah satu keniscayaan. Hanya Allah yang ahad.
Pada saat satu gagasan digulirkan, maka pihak yang berseberangan akan mulai sibuk menyerang individu ketimbang mengcounternya dengan ide alternatif.
Dalam terminologi logika, hal ini disebut dengan ad hominem, yang merupakan singkatan dari argumentum ad hominem. Contoh-contoh kesesatan logika ini amat mudah kita temui pada pemberitaan di media baik reguler ataupun media sosial.
Sebut saja, kasus kenaikan tarif BPJS, kebijakan Tapera, atau parlementary dan presidential threshold. Terlihat, mayoritas masyarakat di jagat medsos tidak menyentuh substansi dari pembahasan – melainkan sibuk dengan hujatan-hujatan yang mengarah pada individu penggagas wacana tersebut.
Kubu pro pemerintah akan terlihat begitu membela individu Bapak Jokowi. Sementara kubu yang berseberangan justru membawa isu-isu yang mendiskreditkan personal dari Bapak Jokowi. Entah mulai dari gaya bicaranya, asal usulnya, selera berpakaiannya dan lain sebagainya.
Pada sisi lain, gagasan tentang kemandirian bangsa dan jangan membela kepentingan asing akan dibalas oleh pembela pemerintah dengan tudingan “dasar kadrun”, “klan cendana”, dan lain-lain. Intinya, logikanya nggak nyambung.
Jujur, ini bukan sebuah diskusi yang apik untuk dilegasikan kepada anak cucu kita di masa yang akan datang. Coba saja bayangkan kelak 20 tahun yang akan datang, apa komentar anak kita saat membaca isi dari tulisan dan cuitan sosial media kita?
Tidak dapat ditampik. Satu pemahaman memiliki keterkaitan dengan literasi. Bahkan menurut data UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia sangat memprihatinkan, hanya 0,001%. Artinya, dari 1,000 orang Indonesia, cuma 1 orang yang rajin membaca.
Sungguh ironis, saat mayoritas (87%) bangsa kita adalah pemeluk agama Islam. Dimana kita meyakini wahyu pertama yang diturunkan berbunyi “iqra` bismi rabbikallażī khalaq” yang memiliki arti “Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan”. Namun faktanya bangsa kita adalah bangsa dengan peringkat urutan kedua dari bawah untuk urusan membaca.
Maka tidak heran, jika apa yang kita tuliskan hanya sebatas gosip, cacian atau makian. Dan kita hanya menjadi ladang empuk untuk info provokasi, hoax, dan fitnah.