Lihatlah sekeliling akan tahu diri kita. Ada tetangga yang makan saja sulit. Malah dikejar-kejar bank plecit. Malah dimana-mana pada dimintai utangan. Anaknya sakit-sakitan. Nauzubilah, moga dijauhkan dari hidup kita.Â
Merasa berbahagia kala bisa makan dan tidur nyenyak. Tampak alamiah saja. Ia merasakan bahagia kala hati nyaman dan tentram.
Atau juga lebih luas dengan menyisir gaya hidup. Kemana-,ama selalu dijangkau. Makan berpindah-pindah lintas restoran. Atau juga aset yang dimiliki.Â
Bisa dilacak dari sebuah kepemilikan. Yang terus berburu hingga ke ujung waktu tak ada hentinya. Ingin mengejar mimpi. Padahal letak tujuan itu pada hati yang selalu tumbuh rasa syukur.Â
Ukuran antara satu orang dan lainnya beda. Mereka ada limit untuk dikatakan bahagia. Anaknya sudah mentas semua dan berpangkat. Maka orang tua itu dikatakan bahagia.Â
Lain hal dengan yang berfikiran anak-anaknya pada nurut dan rukun-rukun saja.Â
Baiklah ada target yang dikatakan membawa bahagia. Kiranya ketika bahagia yang bersemayam di hati rasa menerima dengan penuh keikhlasan.Â
Maka tak heran kala seorang yang hanya dengan sepeda reot masih ada dan ia akan bahagia kala melihat rekannya hanya berjalan. Maka soal dunia pandang ke bawah dan soal ilmu dan amal maka lihatlah yang di atas kita.Â
Kita baru bisa merasakan kala mau melihat sekitar kita. Selalu tebarkan rasa syukur setiap saat maka bahagia meresap dalam hati.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI