Kohir melayang diriku terbuang
Hidup seseorang tidak tahu akan menjadi apa di kemudian hari. Sebuah prediksi yang terkadang akan melenceng dari teori kita. Sebaiknya kita berusaha melangkah melalui jalan dan garis yang baik dan terarah sehingga mendatangkah barakah. Sebuah kisah nyata dan dampaknya terasa ke sekitar kita. Bermula dari seorang yang ingin mempunyai pekerjaan yang diidamkan tetapi dengan berbagai metode agar direkrut menjadi karyawan swalayan warung makan. Berhubung salah satu jaminan harta yang dimiliki adalah sebidang tanah dan rumah tempat tinggal di desa. Dijadikan satu-satu agunan untuk mencari hutangan di tukang pengadaan hutang. Sebut saja non bank pemerintah kalau boleh disebut tukang nganakke duit. Tetapi dengan uang yang besar siap menalangi dengan segera dan cepat.
Sebuah advis yang ditolak dan dicampakkan. Sebenarnya menjadikan barang miliknya itu untuk agunan dilarang dan tidak disetuji oleh keluarga dan sanak kerabat. Karena berung tak mau mendengar dan menuruti karep dan kemauan yang sulit dibendung terpaksa tetap melakukan dengan tenang saja. Padahal bila dilihat suatu resiko yang luar biasa karena semua beban ditanggung dirinya sendiri.
Awal perjanjian dengan peminjam kohir tak ada tulisan hitam dan putih yang mengatur kesepakatan kedua fihak. Yang jelas dipinjam sang juragan yang akan diikuti untuk mengembangkan warung makan dengan modal 30 juta tersebut. Lanjut dan berlanjut setelah kohir diberikan dana yang dikucurkan bank gelap tersebut digunakan usaha. Tetapi yang namanya usaha jaminan sukses tak pasti ada. Gagal mudah didapat dan pasti namun keberhasilan dimintatenang dan tabahlah. Jadi langkah berhasil menunggu langkah yang pasti dan militant.
Kohir sebagai agunan utang sebuah motif penipuan terang-terangan. Kohir yang dia miliki dengan jerih payah kerja suaminya terpaksa tak disadari melayang. Dengan alas an yang dibuat sebagai penguat argumentasi dengan rasa bangga diserahkan sebagai agunan. Padahal uang pinjaman dipakai sang juragan sementara nama dan penanggung hutang sesuai nama kohir. Wah ini jelas jebakan yang sangat menyesatkan. Dan ternyata selang 2 tahun terbukti juga. Saat ini si donator pinjaman menagih angsuran yang sudah 2 tahun tak disetori. Akhirnya baru terasa saat ini bahwa advis dan arahan dulu dari kerabat adalah tepat. Apa dikata nasi sudah jadi bubur dan terlanjur. Tinggal kenangan yang pahit terasa.
Gaji dari juragan 3 bulan awal tetap lancar. Digaji dengan uang yang penuh 600 ribu dan berjalan lancarnya. Namun hal ini hanya berlangsung seumur jagung. Akhirmnya bulan –bulan berikutnya selama jangka tak lebih 1 tahun seperti orang minta palakan, sungguh sebuah ironi kehidupan yang layak sebagai cermin kita. Jangan seperti ini. Selebihnya entahlah jadinya, kadang 100 ribu bahkan kurang dari 200 ribu sebulan lama kelamaan bablas. Tak dibayar dan malah disumpah-sumpah dengan kata yang tak manusiawi. Sehingga hal ini pemacu perpecahan dan komunikasi si juragan dan karyawan.
2 tahun tak diangsur jadilah anak pinak dari 30 juta menjadi 50 juta. Suatu ledakan yang membuat sekarat. Dapat dipahami dan dirasakan semula ingin menolong malah kena bencana. Kalau termasuk orang berada ya tidak begitu terasa. Namun hanya itu barang kekayaan asset yang dimiliki. Mau kemana lagi mengharapkan naungan. Hanya air mata penyesalan dan kepada kerapat mendompleng nunut ngiyup.
Ada kunjungan akan menyegel harta satu-satunya sipemilik jadi Shock berat, ditandai mutah dan berak tak berdaya. Terakhir kabar yang disampaikan adiknya yang kebetulan bekerja pada keluargaku. Si penyandang utang terpalu dan terpasung karena ulah yang kurang beruntung. Sehingga bagi kita setiap masalah sebaiknya kompromi dan pelajari dengan baik. Semoga terjauhkan nasib ini .
Gulung tikar tapi tikar ditinggalkan dan terbakar. Semoga dapat jalan keluar yang benar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H