Mohon tunggu...
Agung Webe
Agung Webe Mohon Tunggu... Penulis - Penulis buku tema-tema pengembangan potensi diri

Buku baru saya: GOD | Novel baru saya: DEWA RUCI | Menulis bagi saya merupakan perjalanan mengukir sejarah yang akan diwariskan tanpa pernah punah. Profil lengkap saya di http://ruangdiri.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tuhan, Apakah Aku Mencintaimu? (9)

5 Juni 2017   00:34 Diperbarui: 5 Juni 2017   00:49 293
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

(artikel rutin Ramadhan yang di posting setiap waktu Sahur)

Puasa nanti di akhirnya atau pada ujungnya akan melahirkan sebuah kemenangan pada jiwa-jiwa manusia dimana saat itu manusia lahir sebagai fitrahnya yaitu manusia tanpa dosa. Setidaknya demikian metafora yang selalu dibangun dalam praktek puasa. Apabila manusia berhasil lahir kembali dalam fitrahnya layaknya seperti yang selalu digambarkan sebagai bayi kembali, ia benar-benar menjadi manusia bebas dogma dan intervensi. Ya, untuk itulah ia suci karena bebas dogma dan intervensi. Namun benarkah Anda sebagai orang tua, apalagi sebagai pemuka agama atau guru agama, benar-benar menghendaki seseorang menjadi lahir dalam fitrahnya kembali? Benarkah?

Atau Anda memahami bahwa lahir fitrah itu tetap bertahan dan semakin fanatik dalam agama yang dijalankannya? Upss, jangan tergesa-gesa marah. Jangan tergesa-gesa untuk menghakimi tulisan ini sesat dan menginginkan orang keluar dari agama. Sama sekali tidak. Saya hanya ingin melihat dengan jujur apa yang dimaksud lahir kembali sebagai fitrahnya manusia.

Manusia mempunyai fitrah suci, yaitu tidak terintervensi oleh apapun juga. Begitu ia sudah terintervensi oleh sebuah keyakinan dari luar dirinya maka kesuciannya hilang. Atau dalam cerita metaforanya saat itu ia diusir dari Surga karena memakan buah kuldi. Nah dalam kelompok-kelompok agama, yang terjadi adalah mempertahankan supaya manusia tetap dalam agama yang dianutnya sepanjang hidupnya. Dalam upaya mempertahankan inilah, dalam setiap agama yang terjadi adalah puasa menjadi ajang untuk semakin memperkuat harapan dan memperbesar ketakutan (tulisan awal tentang halusinasi) dan bukan dijadikan sebagai lahan agar manusia menjadi takwa.

Pertanyaan untuk diri sendiri sebagai bahan refleksi adalah, “maukah kita berpuasa tanpa adanya harapan atau imbalan?” Bukan untuk diampuni dosa-dosa, bukan untuk diberi pahala yang makin banyak, bukan har.apan akan rahmat dan bukan agar terhindar dari api neraka.

Maukah kita berpuasa hanya agar menjadi manusia yang bertakwa? Menjadi Tawadlu, Menjadi Qona’ah dan menjadi Wara? Menjadi rendah hati, menjadi bersyukur dan menjadi manusia yang berkesadaran? Bagaimana apabila puasa ini  benar-benar hanya untuk manusia itu sendiri? Bukan untuk Tuhan dan bukan mengharapkan apapun dari Tuhan. Masih menarikkah puasa seperti ini bagi Anda?

Saya akan tuliskan kembali pertanyaan di atas,

Masih menarikkah puasa seperti ini bagi Anda?” Yaitu sebuah ibadah puasa yang nantinya hanya akan menjadikan manusia melahirkan sifat rendah hati, selalu bersyukur dan menjadi manusia yang berkesadaran. Saya tulis ‘hanya’ karena tidak ada iming-iming imbalan bahwa akan ada rahmat, ampunan dosa dan terhindar api neraka.

Mungkin saja, puasa seperti itu tidak lagi menjadi menarik. Mengapa tidak menarik? Karena pada dasarnya manusia selalu mencari harapan untuk sebuah kondisi yang nikmat walaupun itu didapat nanti setelah kematian. Dan harapan serta ketakutan ini telah diintervensikan kepada manusia sejak ia meninggalkan masa bayinya.

Siapa saja yang mengintervensi manusia sejak masa bayi? Yaitu orang tua, lingkungan, pemuka agama. Mengapa saya katakan intervensi sejak dini? Karena tidak ada bayi yang ditemani berkembang sampai dewasa dan baru setelah ia dapat berpikir dan memilih diberikan kebebasan untuk memeluk agama yang cocok baginya. Setiap bayi sudah dilindungi oleh agama orang tuanya dan berharap ia akan tetap memeluk agama tersebut sampai kapanpun juga.

Kalau dalam dunia hipnosis ada yang dinamakan ‘covert hipnosis’, yaitu cara mempengaruhi dengan tidak langsung. Dalam agama, cerita-cerita tentang harapan dan ketakutan yang selalu diulang-ulang sepanjang tahun merupakan sebuah tindakan tidak langsung untuk mempertahankan kelompok agama tersebut. Kalau demikian, manusia yang masih dalam pengaruh sebuah harapan dan ketakutan, dapatkah dikatakan sebagai manusia yang menang? Dapatkah dikatakan bahwa ia sudah menggapai kemenangannya? Kemenangan dari apa? Bukankah kondisi tersebut menggambarkan bahwa manusia masih berada dalam kondisi kekalahannya, yaitu kalah dari keinginan pikirannya sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun