Beberapa hari ini beranda facebook saya dibanjiri berita tentang Marissa Haque. Tentang celotehnya di twitter dan facebook. Ya, semuanya berkaitan dengan pilkada. Bagi saya yang menarik bukan tentang siapa berpihak kepada siapa, siapa mendukung siapa. Yang menarik bagi saya adalah perjalanan akademisi seorang Marissa Haque hingga dapat meraih gelar Doctornya dengan Disertasi berjudul "Model Pengembangan Sistem Kebijakan dan Hukum Pemberantasan Pembalakan Liar atau Illegal Logging (Studi Kasus di Provinsi Riau)". Konon disertasi itu ditulis sebanyak kurang lebih 700 halaman.
Keberpihakan Marissa dengan salah satu partai politik adalah hak pribadinya. Namun melihat tulisan-tulisannya di media sosial dengan susunan kalimat yang tidak konsisten dan cenderung emosional, saya agak sedikit bertanya, “Benarkah ia menulis disertasi itu sendiri?”
Seorang Doctor, selayaknya adalah ia yang sudah mumpuni menuangkan ide dan gagasan, pengamatan dan penelitiannya terhadap sesuatu. Ia selayaknya sudah ditempa untuk dapat secara sistematis, terstruktur dan membendung emosinya sendiri untuk dapat bermain cantik di tulisannya.
Marissa Haque sudah menulis dua buku, yaitu Buku pertama, judulnya Aminah adalah buku anak-anak dan lingkungan hidup terkait pencemaran lingkungan, berbahasa Inggris dan Indonesia (bilingual). Sementara buku kedua, judulnya Bahasa Kasih adalah transliterasi dari thesis S2 yang pertama dari Pasca Sarjana Unika Atmajaya jurusan LTBI (Linguistik Terapan Bahasa Inggris), tentang pengajaran Bahasa Inggris bagi anak-anak tunarungu (ASL atau American Sign Language). Kedua buku tersebut dihasilkan dalam kurun waktu 10 tahun.
Noise dan Voice, adalah dua hal yang berbeda. Noise lebih banyak muatan emosionalnya. Mereka yang mempuyai kecenderungan tekanan masa lalu, obsesi terpendam, kemarahan yang tidak dapat keluar, kekecewaan akan sesuatu, biasanya akan membuat Noise. Kemunculan Noise ini semacam ocehan di media sosial dalam susunan kata-kata pendek untuk menyerang, menjelekkan, mengumpat dan mencurahkan isi hatinya dengan bebas. Sementara Voice lebih banyak muatan opininya. Voice merupakan susunan kalimat yang penuh dengan ide, pandangan, solusi dan cakrawala baru dalam pemikiran.
Menulis itu Mudah! Sehingga membuat Voice tentu akan lebih memberdayakan masyarakat daripada Noise. Dengan pengalaman akademisi seorang Marissa Haque tentunya Voice yang dibuat akan lebih berdaya guna, setidaknya karena ia mempunyai follower tersendiri. Apakah karena alasan kesibukan sehingga ia memilih untuk tidak sering menulis buku? Tentu saja mungkin tidak. Karena seorang Profesor Rhenald Kasali saja (bukan hanya Doctor) mampu menulis buku hingga 22 buku (semoga saya tidak salah jumlahnya)
Inilah konsekuensi gelar akademi. Artinya seseorang yang memang mengabdikan diri dalam dunia pembelajaran akan selalu berbagi lewat Voice, bukan lewat Noise. Kecuali memang bagi sebagian orang yang mencapai gelar akademi hanya untuk gengsi dan untuk tujuan-tujuan keuntungan lain seperti hanya sebagai syarat jabatan, dan syarat kedudukan tertentu,maka walaupun ia menyandang gelar yang selayaknya memberdayakan, tetap saja ia akan mengeluarkan bising dari ungkapan-ungkapan emosional yang lebih tampak seperti sampah yang seharusnya dibuang di tempat yang tepat (bukan publik).
Tantangan bagi Marissa Haque untuk menulis lebih banyak buku, layak dipertimbangan sehingga ia membuktikan bahwa gelar akademik Doctoralnya adalah memang pengabdiannya di dunia pendidikan dan bukan hanya untuk tujuan persyaratan jabatan politik saja.
Yuk Marissa Haque, menulis lebih banyak buku!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H