Dalam sebuah debat filsafat yang ramai dibicarakan, Muhammad Nuruddin dan Guru Gembul terlibat dalam diskusi sengit mengenai pertanyaan mendasar: "Dapatkah Tuhan dibuktikan secara rasional?" Perdebatan ini bukan hanya soal menang dan kalah, melainkan pertemuan dua aliran pemikiran yang telah lama ada dalam filsafat, yaitu deduksi logis dan empirisisme. Meski banyak yang menganggap bahwa Muhammad Nuruddin memenangkan perdebatan ini karena berhasil menyajikan argumen deduktif yang kuat, diskusi tersebut sejatinya mengangkat perbedaan mendalam antara pendekatan rasional dan empiris dalam memahami Tuhan.
Muhammad Nuruddin, yang beraliran deduksi logis, berpendapat bahwa Tuhan dapat dibuktikan secara rasional. Dalam perdebatan tersebut, ia dengan tegas mempresentasikan serangkaian argumen deduktif yang mendasarkan diri pada karya-karya ilmuwan dan filsuf sebelumnya. Nuruddin mengutip dengan teliti argumen ontologis dan argumen kosmologis untuk menunjukkan bahwa eksistensi Tuhan dapat disimpulkan dari prinsip-prinsip logis. Ia berpendapat bahwa Tuhan, sebagai Pencipta segala sesuatu, dapat dibuktikan dengan logika yang jelas dan sistematis.
Salah satu argumen kunci yang disampaikan Nuruddin adalah argumen kosmologis. Ia menjelaskan bahwa segala sesuatu yang ada di alam semesta pasti memiliki sebab, dan sebab pertama dari segala sesuatu ini haruslah sesuatu yang tidak disebabkan oleh hal lain. Nuruddin menyebutkan bahwa sebab pertama ini adalah Tuhan. Dalam logika ini, menurutnya, tidak mungkin alam semesta ada tanpa pencipta. Dengan penjelasan ini, ia berusaha membuktikan eksistensi Tuhan melalui alasan yang rasional.
Sementara itu,
Guru Gembul, yang berpegang pada empirisisme, mengambil posisi berbeda. Menurutnya, Tuhan tidak dapat dibuktikan secara rasional karena Tuhan berada di luar jangkauan pengalaman manusia dan tidak bisa diindera. Guru Gembul mengacu pada filsuf empiris lain yang berpendapat bahwa semua pengetahuan harus didasarkan pada pengalaman indrawi. Bagi Guru Gembul, segala sesuatu yang tidak dapat diuji atau diobservasi secara empiris, termasuk Tuhan, tidak bisa dibuktikan melalui rasio. Meski ia tidak menyangkal keberadaan Tuhan, Guru Gembul berpendapat bahwa keyakinan kepada Tuhan adalah soal iman, bukan pembuktian rasional.
Banyak penonton debat tersebut menganggap bahwa Muhammad Nuruddin "menang" karena mampu menjabarkan argumennya dengan jelas dan terstruktur, serta mengutip secara rinci karya-karya ilmuwan dan filsuf sebelumnya yang mendukung klaimnya. Di sisi lain, argumen Guru Gembul yang berlandaskan empirisisme dianggap lebih sulit dipahami dan lebih abstrak bagi sebagian audiens, karena ia berbicara tentang batasan pengetahuan manusia dan pentingnya pengalaman indrawi.
Nuruddin juga mampu mematahkan pernyataan Guru Gembul bahwa Tuhan tidak bisa dibuktikan secara rasional. Dengan argumen deduktifnya, ia menunjukkan bahwa meski Tuhan tidak bisa diindera, eksistensi-Nya tetap bisa disimpulkan secara logis. Ia menyatakan bahwa meskipun kita tidak bisa mengetahui sifat Tuhan secara langsung, kita masih bisa mendasarkan eksistensi-Nya pada logika moral dan argumen kosmologis. Argumen ini berhasil memukul balik posisi empirisisme yang menuntut bukti empiris untuk segala sesuatu.
Namun, pertanyaan penting yang muncul dari debat ini adalah apakah benar ada pihak yang "menang" atau "kalah". Dalam ranah filsafat, terutama ketika dua aliran besar seperti deduksi logis dan empirisisme bertemu, diskusi semacam ini sering kali lebih tentang perbedaan cara pandang ketimbang soal kebenaran objektif. Keduanya berdiri di atas fondasi yang berbeda, dengan asumsi dan metode yang tidak kompatibel satu sama lain.
Â
Perdebatan antara rasionalis dan empiris telah berlangsung sejak lama dalam sejarah filsafat. Kaum rasionalis, seperti Ren Descartes, Immanuel Kant, dan Anselmus, percaya bahwa beberapa kebenaran dapat dicapai melalui akal dan logika, bahkan tanpa bantuan pengalaman indrawi. Sebaliknya, kaum empiris, seperti John Locke, David Hume, dan George Berkeley, menegaskan bahwa semua pengetahuan berasal dari pengalaman, dan klaim apapun yang tidak didasarkan pada bukti empiris harus diragukan.
Perdebatan ini bukanlah hal baru dan memang tidak pernah dapat diselesaikan secara mutlak. Pendekatan rasionalis lebih menekankan pada konsistensi logis dan penggunaan akal untuk mencapai kebenaran, sementara empirisisme mengutamakan pengalaman konkret sebagai sumber utama pengetahuan. Dengan kata lain, kedua pendekatan ini beroperasi dengan cara yang sangat berbeda, dan masing-masing mengklaim kekuatan yang berbeda dalam menjelaskan realitas.
Dalam konteks debat antara Muhammad Nuruddin dan Guru Gembul, perbedaan ini menjadi jelas. Nuruddin berdiri di atas tradisi rasionalis yang yakin bahwa logika dan deduksi bisa membawa kita kepada kebenaran, bahkan dalam hal yang tak terlihat seperti Tuhan. Sebaliknya, Guru Gembul, yang terikat pada pandangan empiris, percaya bahwa akal manusia tidak mampu mencapai pengetahuan tentang Tuhan melalui cara-cara yang tidak melibatkan pengalaman indrawi.
Â
Debat antara Muhammad Nuruddin dan Guru Gembul pada akhirnya lebih mencerminkan benturan antara dua aliran pemikiran yang berbeda ketimbang soal siapa yang benar atau salah. Keduanya mengakui keberadaan Tuhan, tetapi mereka berpegang pada pendekatan yang sangat berbeda untuk memahami dan membuktikan eksistensi Tuhan. Muhammad Nuruddin percaya bahwa Tuhan dapat dibuktikan melalui logika deduktif, sementara Guru Gembul menegaskan bahwa Tuhan tidak dapat dibuktikan melalui rasionalisme karena Tuhan berada di luar jangkauan indra dan pengalaman manusia.
Maka, penting untuk memahami bahwa perdebatan ini tidak berakhir dengan kemenangan yang jelas. Keduanya menyuarakan aliran pemikiran yang sah dalam sejarah filsafat, dan perbedaan ini seharusnya dilihat sebagai keragaman cara kita memahami dan mendekati pertanyaan-pertanyaan besar tentang eksistensi, termasuk tentang Tuhan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H