Mohon tunggu...
Agung Webe
Agung Webe Mohon Tunggu... Penulis - Penulis buku tema-tema pengembangan potensi diri

Buku baru saya: GOD | Novel baru saya: DEWA RUCI | Menulis bagi saya merupakan perjalanan mengukir sejarah yang akan diwariskan tanpa pernah punah. Profil lengkap saya di http://ruangdiri.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengapa Ada Orang Suka Debat Daridapa Nulis Buku?

16 Juni 2024   17:19 Diperbarui: 16 Juni 2024   17:20 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
pic: pinterpolitik.com

Baru-baru ini saya tertarik dengan dinamisnya interaksi antara Sutan Sjahrir, Mohammad Hatta, Tan Malaka, dan Soekarno. Apa yang menarik? Ya, Sutan Sjahrir, Mohammad Hatta, Tan Malaka, dan Soekarno sering berselisih paham dalam hal karya intelektualitas dan pendekatan politik mereka. Perselisihan mereka bukan hanya karena perbedaan strategi politik tetapi juga karena perbedaan ideologis yang mendasar.

Dialektika antara pemikiran mereka seringkali dituangkan dalam karya-karya tulis masing-masing. Dalam karya-karya tersebut, kita dapat melihat bagaimana tesis dari satu tokoh seringkali menjadi antitesis bagi tokoh lainnya. Misalnya, pandangan revolusioner dan marhaenisme Soekarno sering berseberangan dengan sosialisme demokrat Hatta dan Sjahrir, sementara pendekatan radikal Tan Malaka menjadi antitesis terhadap pandangan-pandangan yang lebih moderat dan diplomatik.

Karya-karya ini bukan hanya sekadar buku, tetapi juga menjadi catatan sejarah yang menunjukkan dinamika intelektual dan perdebatan ideologis yang terjadi di antara para pemimpin pergerakan kemerdekaan Indonesia. Mereka semua, meskipun berbeda pandangan, memiliki kontribusi besar dalam membentuk pemikiran politik dan ideologi di Indonesia.

Setelah kemerdekaan, Soekarno lebih menyukai sistem demokrasi terpimpin yang memberinya kekuasaan eksekutif yang besar, sedangkan Hatta menginginkan sistem demokrasi parlementer yang lebih membagi kekuasaan secara seimbang. Hal ini menimbulkan perdebatan yang cukup tajam di antara mereka. 

Soekarno, dengan semangat revolusionernya, merasa bahwa demokrasi terpimpin adalah jalan terbaik untuk menjaga stabilitas dan persatuan nasional. Hatta, di sisi lain, berpendapat bahwa sistem parlementer lebih demokratis dan memberikan ruang yang lebih besar bagi partisipasi rakyat.

Sjahrir, yang cenderung ke sosialisme demokrat, sering berselisih dengan Soekarno yang lebih akomodatif terhadap komunis dalam konteks Nasakom. Sjahrir percaya bahwa Indonesia harus mengadopsi nilai-nilai demokrasi sosial dan humanisme, sementara Soekarno melihat Nasakom sebagai jalan untuk menyatukan berbagai kekuatan politik di Indonesia, termasuk komunis. Perbedaan pandangan ini menyebabkan ketegangan yang cukup besar antara kedua tokoh ini.

Sjahrir juga mengkritik komunisme Tan Malaka dan lebih memilih sosialisme demokrat sebagai ideologi politiknya. Sjahrir melihat komunisme Tan Malaka sebagai terlalu radikal dan tidak sesuai dengan kondisi sosial dan budaya Indonesia. Tan Malaka, di sisi lain, percaya bahwa revolusi proletar adalah satu-satunya jalan untuk mencapai keadilan sosial dan kemerdekaan sejati. Pandangan ini membuat Tan Malaka sering berseberangan dengan tokoh-tokoh nasionalis lainnya, termasuk Hatta.

Hatta adalah seorang sosialis demokrat yang memperjuangkan ekonomi koperasi dan demokrasi parlementer. Tan Malaka, di sisi lain, lebih condong ke komunisme revolusioner dan sering kali berseberangan dengan pandangan moderat Hatta. Hatta percaya bahwa ekonomi koperasi adalah jalan terbaik untuk mencapai keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat, sementara Tan Malaka merasa bahwa hanya melalui revolusi proletar dan nasionalisasi semua alat produksi, Indonesia bisa mencapai kemerdekaan sejati.

Dalam konteks ini, ada tesis, antitesis, dan sintesis yang terjadi dalam dialektika pemikiran mereka. Setiap perbedaan pandangan dan pendekatan politik menghasilkan perdebatan yang akhirnya memperkaya khazanah intelektual Indonesia. Tesis dari satu tokoh menjadi antitesis bagi tokoh lainnya, dan dari perdebatan tersebut, lahirlah sintesis yang lebih komprehensif dan matang.

Ketika ketidaksetujuan terhadap sesuatu menjadi antitesis baru dari pemikiran yang dikritisi, dan kemudian dibukukan, itu berarti telah menyumbangkan ide dan gagasan dalam peradaban dan literasi. Namun sayang, dengan mudahnya akses media sosial, beberapa orang memilih asal njeplak daripada menulis gagasannya sendiri. Sikap asal njeplak ini hanya menunjukkan ketidakmampuan dalam memahami pikiran dan gagasan sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun