Di sudut terpencil Yogyakarta, sebuah perkampungan kecil mendekap rahasia yang belum terungkap. Di tengah perkampungan itu berdiri sebuah pohon sawo besar, tempat sebuah legenda lokal yang mengerikan telah diyakini warga. Warga setempat mengatakan bahwa hantu yang dikenal sebagai 'Glundung Pringis' menghantui pohon tersebut setelah matahari terbenam, menjadikannya siapa pun yang berani mendekat di malam hari akan ditemuinya.
Suatu malam, seorang tukang bakso bernama Pak Agus, yang tidak percaya pada kisah-kisah horor desa dan memutuskan untuk melintasi pohon sawo pada pukul 22.00. Ketika mendekat, ia terkejut melihat sebuah rumah tua, yang biasanya gelap dan terlantar, terang benderang dengan cahaya yang menyilaukan. Seorang pria tua dengan rambut putih dan mata yang dalam muncul dari pintu depan, menyuruhnya mendekat.
"Satu porsi bakso, ya, Mas," ujar pria tua itu dengan suara yang dalam dan berat. Pak Agus, meski terkejut dengan permintaan tersebut, mengiyakan dan mengantarkan bakso tersebut ke rumah. Namun, begitu selesai mengantar pesanan dan ia berbalik untuk pergi, rumah itu kembali menjadi gelap dan senyap. Saat ia menoleh kembali, di hadapannya tergeletak sosok menakutkan 'Glundung Pringis' dengan mata merah menyala dan senyum yang sangat lebar. Dengan terbirit-birit, Pak Agus melarikan diri, meninggalkan baksonya di bawah pohon sawo.
Kabar tentang peristiwa itu menyebar cepat, namun Denok, seorang wanita muda yang berani dan skeptis, menolak percaya tanpa bukti nyata. Dengan kamera dan catatan di tangan, Denok bersembunyi dekat pohon sawo untuk menyaksikan dan mendokumentasikan kejadian di malam hari.
Tepat saat matahari terbenam, Denok melihat sekelompok anak laki-laki masuk ke rumah tua di samping pohon, membawa bola yang dihias mirip kepala manusia. Dari jarak jauh, Denok menyaksikan dan mendengarkan rencana mereka. "Saat lewat di sini, lemparkan kepala itu ke arahnya," instruksi salah satu anak kepada yang lain.
Ketika seorang penjual kaki lima lewat, bola kepala dilempar ke arahnya, mengakibatkan teriakan ketakutan yang memecah keheningan malam. Denok segera keluar dari persembunyiannya dan menghampiri anak-anak tersebut, menghardik mereka atas tindakan mereka. Terkejut dan takut, anak-anak itu lari meninggalkan bola kepala palsu. Dan yang Denok suka, ia sempat memotret wajah anak-anak itu saat dihardik oleh Denok.
Denok mengambil bola itu dan akan membawanya ke ketua RT sebagai bukti. Setelah kejadian itu, ia duduk di bawah pohon sawo, beristirahat sejenak dan merenungkan apa yang baru saja terjadi. Tiba-tiba, sesuatu yang besar dan berat jatuh dari atas, tepat di sampingnya. Bukan bola, tetapi kepala manusia asli dengan mata yang masih meringis.
"Kamu pikir kamu tahu segalanya tentang kampung ini, Denok?" suara serak berkata dari kepala itu. Denok mundur, terkejut dan ketakutan.
"Siapa kamu?" tanyanya dengan suara gemetar.
"Saya adalah Glundung Pringis, penunggu pohon ini," kepala itu menjawab, tawanya menggema menyeramkan.