Masuk penjara merupakan masuk ruang pertapaan, layaknya 'gua hiro' atau Kawah Candradimuka yang nantinya akan melahirkan manusia yang lebih mulia dari semula. Setidaknya, kalimat di atas saya baca dari komentar Dik Doang atas vonis penjara selama 1,5 tahun terhadap Ahmad Dhani yang merupakan sahabatnya tersebut.
Pembenaran? Bisa saja. Apakah sebuah penjara dapat dijadikan tolok ukur sebagai ruang yang diibaratkan sebagai ruang pertapaan untuk menempa diri? Kalau demikian maka orang yang keluar dari penjara akan bangga karena sertifikasi 'pernah dipenjara'. Seperti para pengamen yang dengan bangga mengatakan pernah dipenjara hanya untuk menggertak supaya diberikan uang.
Ariel 'Noah' juga pernah mengalami hal sama, yaitu masuk penjara. Baik Ariel maupun Dhani, kasusnya adalah pelanggaran UU ITE (Undang-Undang Informasi Transaksi Elektronik) dengan pasal yang berbeda untuk masing-masing. Dan siapapun dapat terkena undang-undang itu apabila tidak berhati-hati dalam menggunakan informasi transaksi elektronik.
Ahmad Dhani terkena undang-undang tersebut bukan karena dia akan masuk 'goa hiro' dan nantinya akan menjadi makin 'mulia'. Walaupun para pendukung dalam partainya membela bahwa hal tersebut diindikasikan merupakan intimidasi terhadap oposisi.Â
Seperti yang ditulis oleh Fadli Zon dengan hastag #SaveAhmadDhani di twitternya; "Vonis dan ditahannya Ahmad Dhani adalah lonceng kematian demokrasi di Indonesia. Bukti nyata rezim ini semakin otoriter menindas hak berpendapat baik lisan maupun tulisan yg dijamin konstitusi."
Kita bisa berpendapat apa saja tentang peristiwa masuknya Ahmad Dhani ke dalam jeruji besi ini, namun apakah masuknya seseorang ke penjara yang disebabkan karena melanggar undang-undang yang ada merupakan bukti bahwa ini adalah penindasan hak berpendapat dan otoriternya sebuah rezim?Â
Bagaimana kalau kebebasan berpendapat yang dilakukan bukan bebas lagi, namun bablas? Kebebasan dan kebablasan merupakan dua hal yang tidak dapat dibedakan oleh orang-orang yang penuh ego untuk membenarkan dirinya sendiri.
Dalam koridor kebebasan berpendapat, hal ini tentu juga telah diatur oleh undang-undang. Bebas dan bertanggung jawab, yaitu kebebasan yang tidak menghujat, menghasut dan tidak penuh kebencian.
Ahmad Dhani sebenarnya telah mempunyai ruang kebebasan berpendapat bagi dirinya, yaitu lewat musik. Lewat musik, kebebasan dapat disuarakan dengan lembut dalam nada-nada walaupun isinya kritik yang sangat tajam.Â
Ruang yang sebelumnya dipunyai oleh Ahmad Dhani malah ditinggalkan dan memilih berpolitik untuk menyuarakan kebebasan. Tidak ada kebebasan dalam politik, karena yang ada hanyalah komproni atas kepentingan-kepentingan.
"Dhan, mau tetap bisa bebas menyuarakan kebebasan dan ide-idemu? Kembali ke musik, kembali ke seni. Suarakan kebebasan dalam nada, dalam susunan syair, sehingga ia tidak berbentuk hujatan, kebencian dan hasutan." Â
1,5 tahun merupakan waktu yang cukup untuk melihat kembali bahwa tidak ada kebebasan dalam politik. Bahkan ketika ide-ide dan gagasan dalam seni dapat menginspirasi, maka di sana ia dapat membebaskan banyak orang dari belenggu pemikiran yang selama membonsainya.