Buku online sebagai Digital Book makin marak dan Google sebagai penyedia platform toko buku besar mempunyai peran penting sebagai toko buku online.
Beberapa toko buku cetak yang sedang-sedang saja gulung tikar. Bahkan beberapa tahun lalu kita juga mendengar toko buku Legendaris, Gunung Agung juga bangkrut. Walaupun polemik di Gunung Agung lebih kepada urusan perusahaan keluarga, namun bangkrutnya Toko Buku Gunung Agung menjadikan contoh bahwa toko buku cetak yang tidak berinovasi dalam segala hal akan mengalami kekalahan dalam persaingan di dunia modern.
Dulu ada Pusat Buku Indonesia di Mall Kelapa Gading yang besar dengan beberapa penerbit yang berkonsinyasi di sana. Kemudian tutup! Bahkan saya ingat betul sebuah berita dari Harian Kompas yang terbit pada hari Sabtu tanggal 3 September tahun 2011 halaman 12, yang memuat sebuah judul besar: Toko Buku di Daerah Banyak yang Bangkrut.
Mengapa hal ini terjadi? Apakah Karena masyarakat yang dulunya menjadikan toko buku sebagai tempat mencari informasi pengetahuan kini dapat digantikan internet? Masyarakat tidak perlu panas-panasan menuju ke toko buku dan dapat digantikan sambil tiduran dengan pencet-pencet tombol hp dan buku dikirim ke rumah, ataupun dapat langsung dibaca sebagai digital book.
Saya sangat ingat betul, waktu SD dan SMP, ketika ingin mendapatkan informasi pengetahuan, saya memakai sepeda menuju ke toko buku terbesar saat itu di Yogyakarta, di sebelah Tugu Yogya. Toko buku itu bernama Gunung Agung. Saat itu masuk ke toko buku sangat keren. Bisa menyelinap di antara ratusan buku yang dijejer di rak-rak buku merupakan kepuasan tersendiri.
Ya, itu adalah pengalaman puluhan tahun yang lalu. Kemudian mulai tahun 2010, toko buku banyak yang merasakan sepi pengunjung. Apalagi hadirnya generasi Y dan Z yang ketika lahir sudah berada di era internet.
Bagaimana nanti apabila generasi X habis? Mereka yang masih mengatakan bahwa memegang buku cetak merupakan kepuasan tersendiri? Ya, bagi sayapun apabila membaca buku masih nyaman dan puas dengan buku cetak. Mungkin generasi saya dan di atas saya mengatakan demikian, yiatu masih perlu buku cetak. Namun bagaimana dengan generasi Y dan Z di mana mereka memilih membaca di wattpad, play book dan kindle?
Bagi industri buku, hal ini tidak dapat diabaikan. Setidaknya kita menyadari bahwa jaman berubah. Teknologi berubah dan generasi baru tumbuh menyesuaikan jaman. Walaupun bagi saya sebagai penulis buku yakin bahwa untuk 15 tahun ke depan, industri buku cetak masih mendapat tempat di masyarakat. Namun sebagai penulis tentu saja juga harus mengikuti perkembangan era teknologi yang ada.
Eropa, Amerika dan Australia yang merupakan tempat yang sudah lebih maju dari Indonesia saat ini, masih mempunyai toko-toko buku cetak yang selalu mempunyai pelanggan di sana. Bedanya dibalik, yaitu peluncuran buku pertama lewat digital dan baru kemudian dicetak. Kalau di Indonesia adalah peluncuran buku dicetak dan baru masuk ke dunia digital.
Kalau dunia digital memang tidak dapat diingkari dan tidak dapat dihindari, maka mengapa sebagai industry buku dan penulis tidak masuk di dalamnya? Setidaknya untuk mempersiapkan era 15 tahun ke depan.
Kertas dengan bahan baku kulit pohon sangat mungkin akan menjadi langka dan bahkan pohon dilindungi untuk diproduksi. Dengan demikian buku nantinya akan menjadi barang yang sangat mahal. Lalu kalau orang ke toko buku, mereka adalah ke museum buku yang menyimpan pengetahuan yang pernah dituliskan di kertas. Hal ini sama ketika saat ini kita masuk ke museum dan membaca tulisan di atas papirus atau lontar.