Mohon tunggu...
Agung Webe
Agung Webe Mohon Tunggu... Konsultan - wellness coach di Highland Wellness Resort

Makan dengan makanan yang kita olah sendiri dengan bumbu organik tanpa perasa dan bahan kimia, dapat menyembuhkan hampir semua penyakit.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tuhan, Apakah Aku Mencintaimu? (5)

31 Mei 2017   04:20 Diperbarui: 31 Mei 2017   07:07 288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

5 – RAMADHAN 1438

(artikel rutin Ramadhan yang di posting setiap waktu Sahur)

Puasa yang di bagian pertama sudah saya tulis bahwa bukan hanya milik Islam, namun dimiliki oleh semua agama dan berbagai tradisi keyakinan. Bahkan tradisi-tradisi keyakinan di Indonesia juga mengenal dan mengaplikasikan puasa dalam bentuk yang berbeda-beda. Apabila kita melihat hal ini, maka manakah yang ‘original’ tentang ajaran puasa?

Tentu saja mencari mana yang original adalah merupakan tindakan yang membuang-buang waktu. Untuk apa? Apakah hanya untuk dibanggakan bahwa puasa yang sedang dijalani adalah satu-satunya perintah Allah yang istimewa untuk umat tertentu saja?

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”

(QS 2: 183)

Dengan milihat kembali firman Allah dalam Quran surah Al-Baqarah ayat 183 tersebut, kita menyadari bahwa puasa sudah ada dan sudah dilakukan bahkan sejak sebelum Nabi Muhammad hadir sebagai utusan. Apabila tradisi puasa ini milik bersama, maka setiap agama dan keyakinan yang juga menerapkan puasa (walaupundalam bentuk yang berbeda) akan menyambutnya bersama-sama dan merayakannya bersama-sama. Yang dirayakan dan disambut  bersama-sama adalahpuasanya, bukan bulan ramadhannya.

Mengapa puasa dan bukan bulan ramadhan?

Memang perintah puasa (dalam Islam) diberikan pada bulan Ramadhan. Dan bulan ke sembilan dalam penanggalan Islam ini yang dinamakan Ramadhan, menurut beberapa sumber, akar kata Ramadhan bermakna ‘membakar’ atau ‘panas sekali’. Karena memang pada bulan puasa ini di Arab adalah waktu dimana suhu panas sedang panas-panasnya. Bahkan tahun 2015 ramalan cuaca memperingatkan bahwa Arab Saudi di bulan puasa akan mencapai suhu terpanas yaitu 50 C sd 65 C. Bulan yang sangat panas suhunya ini kemudian dikenal dengan bulan Ramadhan (membakar).

Walaupun kemudian bulan yang memang benar-benar panas ini (di Arab Saudi) dimaknai secara filosofis sebagai pembakaran ego, pembakaran nafsu dan penghancuran nafsu-nafsu di Indonesia dan beberapa negara yang saat puasa suhunya sejuk bahkan dingin. Hal ini tidak salah karena pemaknaan makna membakar dan panas ini memang pantas disematkan sebagai bulan pembakaran ego dan nafsu-nafsu ‘jahat’ manusia. 

Kalau menilik dari arti kata Ramadhan yang memang menunjuk bahwa bulan puasa di Arab adalah bulan yang paling panas suhunya, kemudian di Indonesia menyebutkan ‘Marhaban Ya Ramadhan’ yaitu ‘Selamat datang ya bulan yang paling panas’ – sedangkan banyak tempat sejuk bahkan dingin, artinya bahwa penyebutan Ramadhan di Indonesia bukan tentang bulannya, namun tentang maknanya. Dan yang lebih tepat untuk disambut dan dirayakan bukan bulannya, namun puasa itu sendiri. Apabila akan menggunakan kata yang lebih tepat, maka seharusnya komplit menyebutkan, “Marhaban ya Shaum Ramadhan” – “Selamat datang puasa di bulan Ramadhan”.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun