Apa itu takdir?
Bagi sebagian orang, takdir diterjemahkan sebagai sebuah ‘cetakan’ atas peristiwa yang memang sudah dituliskan jalan ceritanya dan manusia hanya menjalaninya. Kemudian dikatakan bahwa setiap manusia mempunyai takdirnya masing-masing, asumsinya adalah sudah ada ‘cetakan peristiwa’.
Sebagai salah satu jalan, agama Islam dalam rukun iman menempatkan percaya adanya Takdir (lengkapnya adalah Qodho dan Qadar) dalam urutan iman ke 6.
Apakah semua peristiwa kehidupan seorang manusia sudah dituliskan sebelumnya di dalam sebuah ‘cetakan alam raya’ sebelumnya? Apabila kita memandang hal ini, yang kita lihat adalah Grand Plan (rencana besar) yang berisi kemungkinan-kemungkinan atau Qodho. Lalu apabila seorang manusia mengambil langkah yang menuju konsekuensi dari salah satu kemungkinan dan peristiwanya terjadi maka hal itu menjadi takdir.
Apakah kita dapat mengubah takdir?
Jelas tidak bisa! Takdir tidak dapat diubah! Mengapa tidak dapat diubah? Karena peristiwanya sudah terjadi.
Contoh sederhana adalah:
Saya menyeberang jalan dengan sembarangan (mengambil kemungkinan tertabrak karena sembarangan) kemudian saya tertabrak. Setelah saya mengalami peristiwa tertabrak maka saya dikatakan bahwa takdir saya saat itu adalah tertabrak mobil. Apakah saya dapat mengubah peristiwa yang sudah saya alami? Tidak bukan? Untuk itu takdir tidak dapat diubah.
Dilain kesempatan apakah saya akan tertabrak mobil lagi? Tentu saja ini adalah kemungkinan-kemungkinan. Bisa ya dan bisa juga tidak, tergantung konsekuensi yang saya ambil dalam setiap peristiwa.
Saya tidak dapat mengubah takdir, yang bisa saya lakukan adalah mengambil langkah kemungkinan yang ada agar takdir yang sama tidak terulang kembali.
Percaya adanya Takdir bukanlah percaya bahwa segala sesuatu sudah ditentukan adanya. Segala sesuatu tidak ditentukan adanya, melainkan ditetapkan sebagai bentuk peristiwa yang mempunyai kemungkinan-kemungkinan di dalamnya.
Percaya adanya Takdir adalah percaya dan menikmati adanya peristiwa kekinian atau present time.
Dengan mempercayai adanya takdir maka seorang manusia dilatih untuk hidup dalam kekinian dalam menjalani semua peristiwa saat ini. Jadi bukan mempercayai bahwa segala sesuatu sudah ditentukan sebelumnya.
Tuhan tidak menentukan segala sesuatu sebelumnya, melainkan memberi kebebasan dalam lautan kemungkinan yang sudah digelar di dalam hukum dan ketentuan di alam raya ini.
Ada orang yang saat itu di dera kemiskinan dan berkata,
“memang sudah takdir saya menjadi orang miskin” – Apabila takdir dimaknai sebagai ‘present time’ maka dia akan dapat menjalani kekinian sebagai orang miskin yang tidak mengeluh, tidak patah semangat, dan tentu saja memahami bahwa ia harus mengambil langkah-langkah kemungkinan agar takdir tersebut tidak terulang kembali.
Anda mau mengubah takdir? Jelas tidak bisa! Karena takdir adalah nama untuk peristiwa yang sudah terjadi. Yang sudah terjadi ya sudah, anda tinggal menjalani dengan penuh rasa syukur. Inilah memaknai kekinian dan hidup dalam masa kini. Percaya adanya takdir adalah hidup dalam kekinian.
Lalu bagaimana dengan masa depan seseorang? Masa depan bukanlah takdir, masa depan adalah lautan kemungkinan yang dapat anda pilih dengan konsekuensinya masing-masing di dalam setiap pilihannya!
Rahayu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H