Harga Beras dan gabah masih tinggi dan meningkat walaupun panen padi di beberapa daerah dan operasi pasar intensif oleh Bulog telah menambah pasokan beras di pasar.
Ketidakseimbangan pasar kelihatannya masih terjadi saat kita memasuki bulan Ramadhan yang biasanya akan meningkatkan permintaan secara musiman. Proyeksi BPS terakhir menunjukkan musim panen raya akan bergeser hingga April-Mei 2024.
Secara konservatif, boleh dikatakan harga beras akan kembali stabil, tetapi tetap akan tinggi saat panen raya terjadi pada Mei 2024. Pertanyaannya, apakah kenaikan harga beras ini bersifat temporer atau permanen? Menjawab pertanyaan ini kita harus melihat sisi produksi ataupun permintaan.
Apakah penurunan produksi sepanjang 2023/2024 ini bersifat permanen atau hanya temporer karena pengaruh El Nino? Atau ada persoalan stagnasi produktivitas selama 10 tahun belakangan ini? Data indikator produksi BPS yang dikeluarkan tahun lalu menunjukkan produksi pangan secara keseluruhan menurun secara persisten.
Produksi pangan tahun 2022 hanya 97 persen dari tahun 2000. Penurunan produksi terjadi pada semua komoditas pangan dan penurunan produksi padi kontributor utama penurunan ini. Produksi tahun 2022 hanya 20 persen lebih rendah dibandingkan tahun 2000.
Karena tanaman pangan ini kebanyakan ditanam di lahan yang sama, bisa jadi ada persoalan serius dengan tingkat kesuburan tanah. Belum lagi pengaruh luas baku sawah yang tidak bisa dihindari akan menurun sejalan meningkatnya kebutuhan lahan untuk infrastruktur, perumahan, atau industri.
Jadi, jawaban atas pertanyaan penyebab kenaikan harga beras mengarah pada masalah struktural, yang jika tak diatasi akan berulang dan dapat memburuk dari waktu ke waktu.
Sebetulnya, pemerintahan era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Joko Widodo (Jokowi)---masing-masing dua periode---tidak tinggal diam. Anggaran untuk meningkatkan produksi pertanian pun meningkat dramatis melalui berbagai pos anggaran, mulai dari alokasi untuk Kementerian Pertanian, Kementerian PUPR, hingga dana alokasi khusus (DAK) khusus pertanian atau pos subsidi.
Pada periode kedua pemerintahannya (2009-2015), SBY mengalokasikan anggaran Rp 368,5 triliun, meningkat dari periode pertama Rp 100,2 triliun. Selama 10 tahun pemerintahannya, Presiden Jokowi juga meningkatkan alokasi anggaran untuk ketahanan pangan dan pertanian menjadi dua kali lipat dibandingkan era SBY, yang sebagian besar dibelanjakan pada periode pertama.
Dalam periode kedua, karena kebutuhan pembiayaan terkait Covid-19, alokasi ini mengalami penurunan. Sayangnya, ada sekurang-kurangnya dua persoalan dalam alokasi ini.