[caption id="attachment_198620" align="alignleft" width="300" caption=""][/caption]Berbicara mengenai permainan tradisional, tentu saja ingatan saya kembali ke era tahun 90-an awal, saat saya masih sekolah dasar. Pada masa itu, waktu sepulang sekolah atau masa liburan menjadi saat yang begitu menyenangkan. Bersama teman-teman sebaya saya bisa bermain bersama, riang gembira bermain bola sepak, pletokan (senapan main dari bambu berpeluru kertas basah), layang-layang, kelereng (gundu), bentengan, gangsing, petak umpet, gebrak gunung, gambaran, gobak sodor, dan beberapa permainan lain yang saya sudah lupa namanya.
Dari semua permainan yang pada masa itu begitu sangat menyenangkan, tentu saja bermain layang-layang dan kelereng-lah yang begitu mengenang di ingatan saya. Bukan hanya karena saat bermain layang-layang saya hampir dibacok petani yang marah karena padi di sawahnya saya injak-injak saat mengejar layang-layang putus, atau bukan hanya karena saya (biasanya) selalu menang saat bermain kelereng, tetapi karena dari dua permainan itulah saya mendapat pengalaman pertama bagaimana cara mendapatkan uang.
Ya, berbeda dengan teman-teman lain yang bermain hanya untuk bersenang-senang, saat itu saya memanfaatkan kedua permainan ini sebagai ajang mendapatkan uang sebagai tambahan uang saku.
Di saat musim layang-layang, saya bersama kakak ketiga membuka dagangan di belakang rumah yang pas sekali berbatasan dengan lapangan tempat anak-anak bermain layang-layang.
Saya lupa saat itu mendapat modal darimana, yang saya ingat sekali, waktu itu saya dan kakak membeli bahan dagangan berupa layang-layang dan perlengkapannya, seperti benang kenur dan benang tajam (gelasan) di daerah Hek (Jakarta Timur), yang saat itu terkenal sebagai lokasi distributor besar layang-layang.
Sesampai di rumah, bermodalkan sebuah meja panjang, saya dan kakak langsung menggelar dagangan. Tentu saja, karena lokasinya yang sangat pas, dagangan kami laris manis dibeli. Bahkan, saking ramainya, saya ingat juga bersama kakak harus mengawasi setiap pembeli karena saat itu ada juga anak-anak yang culas, mencuri dagangan (terutama benang gelasan yang gulungannya dari kayu kecil sehingga mudah dikantongi tanpa kita tahu). Namun, kadangkala kita kecolongan juga, ada saja dagangan yang hilang tanpa ada uangnya. Namun, biarpun begitu kami sangat senang, karena keuntungan dari penjualan barang lainnya sudah cukup lumayan sebagai tambahan uang saku.
Asyiknya, jika musim layang-layang sudah habis, barang yang tersisa bisa kita simpan untuk dijual pada musim berikutnya, atau kita mainkan sendiri sampai bosan.
Sementara, dari kelereng saya mendapatkan tambahan uang saku dengan cara menjual kelereng-kelereng yang saya menangkan dari teman-teman. Saat itu biasanya kami bermain segitiga (memasang kelereng di dalam gambar segitiga yang dibuat di tanah, lalu untuk mendapatkannya setiap pemain akan “menembak” setiap kelereng tersebut dengan kelereng “gacoannya”. Kelereng yang keluar dari segitiga dengan jarak keluar tertentu (istilahnya “pot”, biasanya jaraknya sejengkal tangan) akan menjadi milik si “penembak”. Setiap pemain yang sudah dapat mengeluarkan kelereng dari segitiga dapat “membunuh” gacoan pemain lain. Gacoan juga otomatis “mati” jika saat menembak kelereng masuk ke dalam segitiga atau ada di dalam jarak “pot”. Pemain yang gacoannya dapat bertahan sendiri sampai akhir permainan adalah pemenangnya dan mendapat semua sisa kelereng yang masih ada di dalam segitiga).
Dalam permainan ini saya ingat selalu beruntung menjadi pemenang. Kelereng yang saya dapat tentu saja banyak, karena dalam satu permainan segi tiga bisa ada beberapa pemain dengan pasangan kelereng 5—10 kelereng setiap putarannya. Saya ingat juga, karena banyaknya kelereng yang saya dapat, saya menggunakan kaos kaki yang panjang untuk menyimpannya.
Nah, kelereng-kelereng inilah yang saya jual kembali ke teman-teman yang kalah. Biasanya, kelereng dijual dalam hitungan 5, 10, atau 20 buah dengan kesepakatan harga pertemanan. Tentu saja, uang yang saya peroleh lumayan juga menambah uang saku. Kadang, jika kelereng yang saya miliki masih sangat banyak, saya juga tidak segan untuk membagi-bagikan secara cuma-cuma, untuk dipakai bermain teman-teman esok harinya. Ehm, bangga rasanya mengingat masa itu, sudah dianggap jago kelereng, dapat tambahan uang saku, juga bisa berbagi kebahagiaan bermain bersama teman-teman.
Teks & Foto: Agung Sugiarto