Tak bisa dipungkiri bahwa selama dua dekade ini kita dihadapkan pada tantangan eksklusivitas agama. Padahal yang kita semua tahu, negara kita sangat kompleks mulai dari perbedaan budaya sampai perbedaan agama. Banyaknya perbedaan itu seakn takdir bagi kita .
Tantangan eksklusivitas itu dimulai saat era reformasi. Alih-alih mereka mengatakan bahwa perlu ada pemurnian agama lepas dari musyrik dan lain-lain yang sesuai dengan agama, memang tidak diperbolehkan. Sarana komunikasi yang memungkinkan orang mengirimkan foto maupun video sehingga pernyebaran ajaran yang mungkin tidak sesuai dengan agama di Indoensia dilakukan dengan sangat massif.
Eksklusivitas itu kian menguat sejalan dengan massifnya beberapa kelompok yang menyebarkan ideologi tertentu ke sekolah-sekolah, dan masjid-masjid kampus. Malah dalam penelitian sebuah lembaga penelitian, masjid BUMN dijadikan sebagai tempat untuk menyebarkan ideologi transnasional.
Itulah tantangan kita yang paling krusial untuk saat ini. Karena anak-anak sekolah Tingkat dasar pun sudah menunjukkan sika-sikap intoleran kepada pihak lain. Begitu juga dunia akademis, dimana kampus sering dijadikan sasaran empuk bagi beberapa pihak yang pro ideologi transnasional. Kajian-kajian di beberapa kelompok sosial dan agama, eksklusifitas kian kencang.
Bukan itu saja, dunia usaha seperti pengusaha non pri juga mengeluh karena banyak sekali pelanggan mereka  berpaling kepada para pengeusaha yang satu agama dengan pembeli. Meski itu dinilai sesuai dengan prinsip ekonomi, namun agak meresahkan beberapa pihak.
Sila pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, seharusnya dipahami bahwa negara kita memang sangat kompleks dengan banyak perbedaan termasuk agama, sehingga diksi Ketuhanan yang Maha Esalah yang dipilih untuk menggambarkan bahwa agama  menjadi salah satu landasan penting dalam bernegara. Entah itu Budha, Katolik, Kristen, Islam, Hindu dan Kong Hu Cu. Juga beberapa aliran kepercayaan yang memang ada dan tumbuh subur di Indonesia.
 Sila pertama dari Pancasila bukan nilai Tunggal. Pancasila sebagai falsafah negara ditutup dengan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Dengan begitu prinsip religi (berdasar agama) lekat  dengan prinsip-prinsip harmonisasi sosial yang meruapakan hal wajar dalam bernegara. Sehingga kita juga harus sadar, jangan sampai eksklusivitas di sekitar kita membunuh cita-cita luhur para pendahulu kita yang berjuang demi kemerdekaan kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H