Â
Dalam sebuah cerita, Umar RA ingin memberi bingkisan kepada sejumlah istri Nabi Muhammad SAW. Hanya saja Umar membedakan antara bingkisan kepada istri Nabi yang berasal dari suku Quraisy dan non Quraisy.
Hal ini tidak disukai oleh Aisyah RA dan meminta secara tegas pada Nabi SAW untuk memberitahu Umar RA soal prinsip-prinsip keadilan. Â Nabi Muhammad SAW tidak menolak atas tindakan tersebut dan dimaknai sebagai persetujuan. Kisah ini memberi gambaran kepada kita semua bahwa Islam tidak memberi ruang untuk perilaku rasis atau lebih luas lagi ketidakadilan karena warna kulit atau perbedaan.
Dalam sejarah modern, rasisme tetap ada. Namun rasis atau rasisme memang menjadi penghadang kemajuan dalam skala global. Kita tentu ingat supremasi kulit putih  pasca terpilihnya presiden Donad Trump menjadi kesadaran global bahwa rasisme atau lebih sempit lagi diskriminasi masih saja jadi persoalan. Padahal dunia sudah membuktikan bahwa warna berbeda, keyakinan berbeda atau bahasa yang berbeda tidak perlu dipersoalkan sejauh dalam koridor positif. Amerika Serikat sudah tahu bahwa ada Barack Obama yang berbeda warna kulit juga sudah membuktikan komitmen dan prestasinya untuk negara adidaya tersebut.
Indonesia juga mengalami masa itu. Rasisme di masa colonial dikenal pembeda antara pribumi, priyayi dan keturunan Eropa serta keturunan Timur Asin (Cina / Arab). Golongan ini sengaja dibentur-benturkan dan politik pecah belah terjadi. Satu golongan menjadi merasa lebih tinggi dibanding golongan yang lain, bahkan tidak mau berteman atau bergaul dengan mereka. Dengan kondisi seperti itu, sangat sulit satu wilayah seperti Nusantara pada zaman colonial untuk lebih maju. Sebaliknya banyak sekali sikap atau tindakan yang mengarahkan satu golongan lebih superior dibanding golonan lain; satu sikap yang sebenarnya membuang-buang energi kita.
Itu akhirnya mendorong pemuda-pemudi Indonesia untuk mengucap sumpah pada 28 Oktober 1928 yang dikenal sebagai Sumpah Pemuda yaitu bertumpah darah dan berbangsa satu, serta berbahasa satu, Indonesia. Sumpah Pemuda adalah salah satu momentum penting bagi bangsa Indonesia karena sumpah itu menjadi puncak kedewasaan yang mampu mengubah prespektif kita terhadap perbedaan.
Seharusnya itu titik tolak kita dalam menghargai perbedaan ; apapun itu karena sejatinya Indonesia memang punya ribuan perbedaan. Seperti Nabi juga mengakui prespektif Aisyah dalam melihat perbedaan. Orang seharusnya tidak lagi mempersoalkan Ambon yang berkulit gelap, atau Cina yang berkulit kuning. Orang juga seharusnya tidak mempersoalkan keyakinan / agama Hindu atau protestan atau Budha atau Islam.
Semestinya, seiring dengan bertambahnya tahun kita mengenal momentum Sumpah Pemuda, seharusnya kita  sudah bisa dewasa soal klasifikasi rasial semacam itu.Namun yang kita temui malah keinginan perpecahan dari beberapa pihak. Sikap mereka yang menganggap perbedaan adalah halangan menjadi "kemunduran" atas hal yang pernah kita capai dalam Sumpah Pemuda.
Kita seharusnya lebih dewasa dan lebih maju. Bukan saja dalam hal teknologi, namun juga soal prespektif perbedaan bangsa kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H