Mohon tunggu...
Agung Wasita
Agung Wasita Mohon Tunggu... Administrasi - pegawai swasta

pegawai swasta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Intoleransi Gembosi Persatuan Kita

1 November 2019   01:15 Diperbarui: 1 November 2019   01:38 356
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gerakan Sumpah Pemuda yang terjadi pada 28 Oktober 1928 tidak lahir dari ruang hampa. Indonesia yang dulu dikenal sebagai Nusantara sejak tahun 1600 dalam cengkeram VOC yang menginginkan monopoli penjualan hasil bukompas.nasionalmi Nusantara ke pihak mereka. Mereka juga terlibat dan melibatkan diri pada peperangan antar raja di Nusantara bukan untuk mencari solusi atas konflik para raja itu tapi untuk mengambil keuntungan dari peperangan itu.

Setelah VOC bangkrut karena korupsi parah, Belanda membentuk Pemerintah Hindia Belanda yang 'meneruskan' hegemoni atas tanah nusantara. Mereka menerapkan tanam paksa yang menyebabkan penduduk Indonesia yang hidup dalam kondiri memprihatinkan selama puluhan tahun.Mereka bahkan tidak bisa menikmati kekayaan alam yang mereka miliki.

Setelah mengalami politik tanam paksa yang tragis, beberapa pihak mengusulkan politik etis sebagai bagian dari perhatian Belanda pada tanah jajahannya.  Kebijakan itu berjalan meskipun tidak sepenuhnya untuk kesejahteraan penduduk Indonesia. Belanda nampaknya belum bisa secara tulus mengakui bahwa mereka harus 'berterima kasih' kepada Indonesia atas pengorbanan dan segala akibat dari upaya paksa VOC dan pemerintah Belanda.

Dari tiga item dalam paket politik etis, hanya pendidikan yang bisa berjalan relative baik. Terlbeih generasi muda sangat bergairah pada upaya Belanda untuk memberikan sedikit perhatian kepada penduduk Indoensia.

Sehingga ketika Sumpah Pemuda terjadi, itu tak lepas dari pendidikan yang sudah mereka enyam. Beberapa sudah mencapai sekolah kedokteran dan beberapa di sekolah menengah. Membuat mereka terbuka terhadap apa yang dilakukan Belanda terhadap bangsa mereka.  Mereka juga berfikir bagaimana mencapai masa depan yang lebih baik di tengah-tengah penjajahan Belanda pada bangsa mereka.

Karena sadar bahwa bangsa ini dari sabang sampai merauke dengan bermacam-macam kondisi  sehingga mereka sadar bahwa usaha terbaik untuk melawan Belanda adalah bersatu , terlebih mereka merasa satu ikatan dan satu cita-cita untuk mencapai keadilan dan kesejahteraan lewat bangsa yang merdeka.

Sumpah Pemuda bukan peristiwa kecil, tapi sebuah peristiwa yang membalikkan arah perjuangan Indonesia dan bagaimana berstrategi melawan Belanda yang masih ingin menjajah Indonesia.

Karena itu, melihat semua proses itu maka betapa ironisnya jika diantara kita terjangkiti virus intoleransi dan radikalisme. Kita pasti tahu intoleransi adalah negasi dari persatuan itu sendiri. Betapa pemuda jaman dahulu menaruh rasa primodialisme bahwa dia dari Sumatera, dari Jawa, dari Sulawesi dan berikrar menjadi satu yaitu Indonesia.

Dengan mendukung atau bersikap intoleran terhadap yang lain, sama saja dengan menggembosi cita-cita Indonesia itu sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun