Rabu malam (3/10) lalu mungkin jadi saat yang ditunggu oleh seluruh bangsa Indonesia atas satu kabar yang ditiupkan oleh seorang bernama Ratna Sarumpaet. Kabar itu beredar sejak sehari sebelumnya dan mendapatkan animo dari masyarakat secara luas.
Kabar itu adalah soal penganiayaan yang dialami oleh Ratna pada tanggal 21 September . Hampir sepuluh hari  sebelumnya. Yang mengaku dianiaya dirinya sendiri. Tanpa ada saksi.  Dia mengaku tak berani melaporkan ke berwajib karena ketakutan. Perbedaan politik memang jadi dominan mempengaruhi banyak perilaku masyarakat Indoensia. Mulai tingkat elit sampai rakyat biasa . Semua dikaitkan dengan kecenderungan politik.
Penelusuran yang dilakukan oleh polisi di Bandungpun menunjukkan tak ada petunjuk. Tapi wajahnya memang lebam-lebam . Â Karena Ratna menjadi jajaran pemimpin tim sukses salah satu calon Presiden, maka kasus itu menimbulkan reaksi banyak tokoh. Masyarakat dan mediapun memberi perhatian yang besar pada kasus itu.
Petunjuk mulai datang ketika polisi memakai bantuan teknologi untuk melakukan penelusuran. Kontak komunikasi Ratna pada hari yang disebutkan itu ternyata di Jakarta dan bukan di Bandung. Begitu juga transaksi keuangan atas nama anaknya juga dilakukan di Jakarta dan tidak di Bandung. Â Akhirnya, karena terjepit dan rasa bersalah akhirnya Ratna mengaku bahwa dia berbohong atas pernyataannya sendiri.
Media memberitakan. Sosmed menviralkan. Masyarakat geger. Juga marah. Elit politik ? Mereka menggelar konferensipers setelah mendengar permintaan maaf dan klarifikasi dari Ratna.
Kasus yang benar-benar menyita perhatian public Indonesia selama hampir dua hari itu amat disayangkan dilakukan oleh salah seorang tokoh masyarakat yang senior. Bagaimanapun Ratna adalah seorang aktivis dan berusia 70 tahun.
Bagaimana bisa seorang aktivis yang sudah senior bisa meniupkan berita bohong (hoax) atas dirinya sendiri dan kemudian menimbulkan reaksi dari masyarakat. Kita layak berfikir, jika polisi tidak melakukan penelusuran dengan cepat , bagaimana jika kubu Ratna melakukan langkah-langkah hukum ? lalu orang caci maki dan saling benci untuk sesuatu yang tidak benar. Keadaan akan lebih kacau.
Bagaimanapun hoax amat membahayakan. Apalagi di era teknologi di mana orang dapat menjadi media dan memproduksi konten itu. Tidak ada institusi formal yang menyaringnya sebelum konten yang dia buat itu disebarkan melalui media social yang dimiliki oleh orang tersebut. Sebaran yang sangat cepat dan menimbulkan efek yang sangat besar.
Karena itu, peristiwa Ratna Sarumpaet dan hoax yang dibuatnya, layak menjadi momentum. Agar masing-masing dari kita berhati-hati dengan konten yang kita buat maupun konten yang kita terima. Kita layak untuk cek and recheck semua konten yang kita terima jika ingin menyebarkannya. Jika ragu atas sebuah konten maka lebih baik jika konten itu anda simpan sendiri saja jangan menyebarkannya kepada yang lain.
Negara membutuhkan energy segenap warga Indoensia. Sehingga silang pendapat, caci maki dan saling membenci karena hoax sedapat mungkin dihindari. Jangan menunjuk orang lain. Tapi dari diri kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H