Tiga hari menjelang lebaran saya sudah berada di rumah. Meskipun tidak kangen-kangen amat, karena cukup sering pulang, tetap saja mudik lebaran memberi kesan yang berbeda. Salah satunya adalah kerinduan rasa pada makanan rumahan khas  lebaran. Setelah berbulan-bulan dicekoki berbagai jenis kuliner urban di ibukota, kini saatnya 'berbuka puasa' dengan makanan kampung yang familiar di lidah, dan yang penting: gratis!Â
Rumah tinggal saya di Kuningan berada di ujung jempol gunung Ciremai. Cukup dingin hingga tubuh  pun menuntut  tambahan 'logistik harian' penambah kalori.Â
Dibandingkan dengan beberapa tahun lalu ketika belum merantau sekolah dan kerja, kuliner lebaran dan tata cara penyajiannya sekarang telah banyak berubah. Sebut saja peuyeum ketan favorit saya. Dulu, kala telepon belum masuk kampung, agenda orang-orang dapur 3 hari sebelum malam takbiran  adalah meuyeum atau memeram tape dalam tempayan besar.Â
Berbeda dengan daerah lain, peuyeum ketan Kuningan dibungkus dengan  daun jambu air sehingga setelah  fermentasi  menambah segar aroma dan rasanya serta lebih enak dilihat. Saya kerap  merasai pula makanan ini di lain tempat, tetapi dengan bungkus  daun pisang atau plastik! Praktis memang, tapi pointnya jadi  berkurang.Â
Kalau mau, tinggal beli saja sekotak atau seember di kota. Â Sayangnya, tidak semua peuyeum toko itu sama rasanya. Membeli peuyeum mirip dengan membeli durian, kalau kurang beruntung peuyeum yang diperoleh bisa asam, Â terlalu berair, terlalu lembek, hingga rasanya yang aneh. Rumah makan tempat saya biasa membeli peuyeum, Â sudah tidak terima pesanan lagi sejak Rabu lalu! Â Saya membayangkan sungguh besar permintaan kala lebaran tiba hingga jauh-jauh hari kapasitas produksi sudah overload.Â
Kampung yang hidup bergerakÂ
Selain meuyeum, kegiatan menjelang lebaran pada tahun jebot lainnya adalah mapais atau membuat papais. Banyak jenis papais yang bisa disebut.  Ada  papais enten yang berisi adonan parut kelapa gula merah (kue bugis), ada papais monyong berbentuk kerucut dengan isi kacang ijo, ada papais beureum yang berwarna merah tanpa isi.Â
Untuk divisi kue kering masih ada raginang (rengginang), sasagon, satu, kripik  pisang dan talas, sale, dan emping melinjo. Keluarga-keluarga yang lebih modern membuat  berbagai jenis kue yang dibakar dalam oven seperti aster, naster, selebes dan entah apa lagi namanya. Berbagai bahan makanan dan pembungkusnya  itu banyak  yang diambil dari alam sekitar sehingga persiapan lebaran  tidak hanya di dapur saja.Â
Berhubung daun jambu air,  jagung, pucuk kelapa,  bambu,  dan pohon pisang ada di kebun atau sawah, maka kesibukan pun berlangsung di tempat itu.  Barter hasil perolehan  kerap berlangsung  spontan. Pencari pucuk kelapa bertukar hasil dengan pencari daun jambu air, daun pisang yang tua dan jelek ditukar daun pisang yang muda dan lebar. Kelapa, baik yang muda atau yang tua sama dipetik di kebun - kebun. Beras, ketan putih, dan ketan item, diremuk di penggilingan dibuat tepung. Jangan tanya betapa panjang antrian orang-orang menunggu giliran.Â