[caption id="attachment_210028" align="aligncenter" width="300" caption="(Sumber: http://brisray.com/)"][/caption]
Lewat 15.40 saya masih termangu bengong di depan monitor. Sesekali kursor sibuk mengeklik refresh dan resend untuk memacu koneksi biar lebih gegas. Tapi apa daya, gerbang Kompasiana hari itu bak benteng tanpa celah yang sulit tertembus.
Lepas Ashar kemudian ‘jam malam’ berakhir. Senang rasanya bisa bertemu kembali dengan kawan-kawan yang tadi seolah-olah tersekat dinding tak kasat mata.
Beberapa buah postingankelihatan baru tiba di kolom kanan laman profil. Fresh from oven.
Hmm….Postingan segera saya sibak ke samping jadi dua. Pertama, postingan well prepared, yang tertata dan mendalam. Kedua, postingan dari jenis katarsis yang ‘kuciwa’. Keduanya berasal dari cerita yang sama: gagal ikut lomba 100 menit 1000 tulisan.
Kekecewaan yang terungkap lugas dan lepas saya simak dalam komentar-komentar postingan. Walau senda gurau dan guyonan tak sanggup tuntas mengusir kesal. Yang lebih lucu, beberapa tag dalam tulisan jelas tidak ada hubungan eksplisit dengan isi tulisan. Tapi ya itu tadi, kekecewaan rupanya telah mengalir jadi air bah sungai meluap, sampai ke pekarangan Facebook malah.
Lomba ini barangkalibukan sebuah kekeliruan
Saya percaya panitia lomba dan admin Kompasiana telah mempersiapkan segala sesuatunya dengan optimal. Harap agar hajatan yang digelar akan mulus lancar.Tapi sebagai lomba membuat tulisan, adakah yang ganjil di situ? Ada, saya kira.
Pertama, lomba 100 menit 1000 tulisan mungkin lebih cocok menjadi lomba uji kecepatan (atau keberuntungan) akses jaringan. Dengan pintu yang sempit dan waktu terbatas tentu akan ada kandidat yang kasip masuk, walaupun mulai jalan pada waktu yang sama.
Berikutnya, lomba ini menyajikan tema hingga 10! Ya, ada 10 tema. Andai kita pikirkan sejenak, mampukah kita menilai beberapa tema yang sebenarnya sulit dibandingkan. Kedalaman estetis cerpen yang indah sulit ditakar menggunakan kacamata inovasi teknologi. Lalu apakah tega anda sandingkan gagasan menghijaukan bumi dengan curahan hati seorang gadis patah hati dalam sebuah puisi? Ini sama saja menggunakan mistar untuk mengukur berat apel.
Jika eksekusi akhir penilaian ada di tangan voter, subjektivitas mengancam.
Kesimpulan saya, lomba ini lebih ke arah kuantitas.
Keterbatasan ini saya percaya bukannya tidak disadari oleh panitia (atau memang panitia memiliki alat ukur yang lebih akurat). Saya coba memahami, menangkap pesan di balik batu. Kiranya lomba ini sejatinya adalah sebuah undangan, publikasi tersirat untuk lomba sebelumnya dan masih tengah berlangsung. iB blogger competition. Dalam lomba ini tema lebih spesifik yaitu mengenai perbankan syariah.
Saya pribadi bukanlah bankir dan apalagi perbankan syariah, walaupun memang memiliki keinginan untuk memahaminya. Tapi coba perhatikan baik-baik, tema ini bisa saja kita lihat dari berbagai sudut pandang yang boleh jadi unik dan tidak kita sadari.
Maka berdasarkan keyakinan itu saya mencoba memilih tema iB banking. Pertimbangannya, andai saya (jaringan) gagal mengantar karya saya ke meja panitia dalam tempo 100 menit, saya masih bisa mengirimnya besok atau lusa ke meja sebelah.
Dan inilah dia, artikel saya “Lapak-Lapak Digital” akan saya kirim tidak lama lagi. Teriring do’a, semoga dapat menggondol (minimal) sebutir blackberry bulan ini.
***
Salam hangat buat seluruh Kompasianer, Panitia, dan Admin Kompasiana beserta jajaran kru.
Selamat pagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H