September ceria. Kata orang. Tetapi September juga bisa berarti derita. Dan selalu muncul aroma pengkhianatan akibat ulah komunis tahun 1965.
Masuk September ini Pilpres 2024 dikejutkan dengan hengkangnya PKB dari sekutunya, Gerindra. Cak Imin jadi korban penculikan Surya Paloh untuk dipaksa menerima pinangan cawapres Anies Baswedan. Jadi the second victim.
Demokrat marah besar dengan duet Amin --Anies Baswedan-Muhaimin-- yang baru terbentuk. Sia-sia AHY antar jemput Anies ke bandara tempo hari saat pergi berangkat haji. Prabowo juga harus tampil kecewa karena Cak Imin pergi tanpa pesan.
Tetapi Demokrat janganlah terlalu menyalahkan berlebihan, baik Cak Imin maupun Anies. Maksudnya salahkan jugalah Prabowo dan Surya Paloh yang menjadi pangkal dari urutan kejadian tersebut.
Mengapa Prabowo perlu ikut kena getah?
Perhatikan urutan kejadian sebelum itu saat Prabowo secara sepihak mengganti nama koalisi partai pengusungnya. Klub Prabowo itu namanya KKIR, Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya, berasal dari campuran unsur PKB dan Gerindra.
Setelah Golkar dan PAN ikut bergabung, Prabowo tiba-tiba mengganti nama menjadi KIM, Koalisi Indonesia Maju. Indonesia memang ingin maju tetapi yang kebelet cawapres juga banyak.
Cak Imin meradang karena perubahan itu tanpa pembicaraan atau persetujuannnya. KKIR berarti sudah bubar. Titik itu pula yang mungkin ditafsirkan bahwa PKB di-persona non grata-kan, sama seperti PAN-Golkar dan Gerindra mengambil alih pimpinan. Harusnya kan Gerindra-PKB jadi atasan dan Golkar-PAN anak bawang.
Agaknya Ketum PKB segera membaca gelagat bahwa peluang menjadi cawapres Prabowo pun otomatis lenyap. Atau menjadi jauh lebih sulit. Maka ketika Surya Paloh memberi umpan lambung tawaran cawapres, tanpa pikir panjang segera disambut dengan tendangan first time yang berujung deklarasi di Hotel Yamato.